Wednesday, May 19, 2010

NEKAD




11 tahun katamu kita tak pernah bertemu
Sejak kisah polos itu, kita tinggalkan—karena jalan hidup yang sudah Tuhan atur
Kau kini muncul tiba-tiba,
Bak meteor jatuh--mengagetkanku
Dengan susah payahku mengingatmu
Wajah kental kecilmu hampir tak kukenali

Sebelas tahun,
Kau coba mengingatkanku saat-saat indah mengaji bersama
Kau coba sebutkan satu per satu kawan-kawan kecil kita
Tapi, seribu kali lipat ku kerahkan memori ini di tempo dulu
Dan tak berhasil

Hilang kesabaranmu barangkali
Kau bunyikan gadgetku
Dan di ujung nan jauh disana kau berkata
Hallo…
Masih ingat denganku katamu menyapa…


Sekapur sirih,

Wahyuni itulah namamu. Yuni..yuni..yuni…yuni. Ya, seperti itulah aku memanggilmu. Dan sekarang aku benar-benar mengingatmu. Hemmm, sebelas tahun kita nggak ketemu kawan. Sepertinya memang kita sudah ditakdirkan bertemu di waktu kecil. Ya walaupun hanya beberapa tahun saja. Karena kita memang tidak pernah ditakdirkan sekelas, satu sekolah untuk urusan pendidikan—ah terlalu formal ya, (sebenarnya aku kurang begitu setuju dengan kata itu, mungkin lebih enak aku menyebutnya, urusan menimba ilmu hidup). Kau ingat mushola itu! Di rumah Tuhan itulah aku mengenalmu. Kita masih sama-sama sekolah dasar. Usia yang relatif muda, polos dan khas anak desa sekali. Sederhana sekali. Dan tak terbersit sedikitpun tentang masa depan—kehidupan kita sekarang akan seperti apa. Yang ada hanyalah, kita sama-sama begitu apa adanya dalam merangkai puzzle-puzzle yang sengaja Tuhan jatuh cecerkan di dunia ini, agar kita mencari ceceran puzzle-puzzle itu dan memasangnya satu persatu. Dan entah sampai kapan—puzzle hidup itu terselesaikan. Dan sungguh Selama sebelas tahun itu pula aku tak tahu kabarmu. Begitu pula dirimu, tak tahu kisah yang kurajut sebelas tahun ini.

Kini, kau bak meteor jatuh dihadapanku. Tak tahu harus berkata apa, karena aku terpesona oleh Kuasa Tuhan yang mengatur jalan hidupmu. Dan kini Kisah polos kita terajut kembali.

Hongkong, disana kini kau bermukim. Babu, profesi itu lah yang keluar polos dari bibirmu. Tanpa malu, kau bangga dengan pekerjaanmu. Dan aku salut itu. Aku hanya lulusan sekolah dasar kawan, tambahmu. Modalku di negeri orang ini, hanya nekad dan berani saja. Karena itu yang aku punya—setelah suamiku mencampakkanku, tuturnya tegas. Maha Suci Allah, Maha Besar Dia yang telah mengatur hidupmu kawan,hatiku berucap. Kau lakoni hidup yang tak pernah senyaman yang kau harapkan. Kau bercerita Hongkong adalah negeri asing ke dua setelah Malaysia. Di Malaysia, menurut ceritamu, tak senyaman di Hongkong, tempat dimana kau bekerja saat ini. Tak lengkap mungkin rasanya, jika TKI yang bekerja di Malaysia tak mengalami penderitaan. Dari mulai masalah majikan, gaji, pelayanan yang kurang baik hingga penyiksaan, adalah alasan-alasan klise yang selalu terdengar di telinga kita. Dan yuni pun mengalami hal yang serupa. Ah, aku jadi berpikir—sepertinya hal seperti ini sudah menjadi sesuatu yang wajib terjadi, ketika bekerja di negeri orang.

Aku senang di Hongkong, katamu. Alhamdullilah majikanku baik. Aku nyaman bekerja dengan mereka. Roda terus berputar kawan, kadang dibawah, dan akan ada saatnya diatas, katamu. Dan sungguh itulah yang ku ingat dari sepanjang obrolan 60 menit kita, malam ini. Sungguh, aku mengagumimu. Kenekatan dan keberanianmu, terbayarlah sudah. Dan aku belajar tentang itu darimu.

Karena negerimu tak memberimu kelayakan
Kau beranikan diri pijakan tanah orang
Karena negerimu takkan menemanimu memeluk mimpi
Kau bulatkan nekatmu jelajahi bumi Tuhan
Karena negerimu tak yakin akan kemampuanmu
Kau satukan yakinmu bahwa cibiran itu salah
Dan Kau telah membuktikkannya
Mungkin kau tahu,
Tanah airmu hanya mampu melahirkanmu
Tanah airmu hanya mampu membesarkan tubuhmu
Tanah airmu hanya mampu menghitung devisamu
Tanah airmu hanya mampu sampai disini
Tapi negeri asing, kadang juga tak menjanjikan kawan










salamku, enha.

Tuesday, May 18, 2010

Merangakai Kisahnya,



Pertanyaan-pertanyaan tentangnya tiba-tiba saja muncul. Hadir begitu saja, menggelayut disudut pikirku. Setumpuk daftar pertanyaan telah kususun. Begitu pula dengan jawabannya, telah kusiapkan. Tapi tak semuanya. Aku masih harus mencari dan mengikuti kebenaran jawaban itu. Pertanyaan dan jawaban tentangnya adalah sebuah jalan panjang yang hanya untuk menemui titik-titik pemberhentian. Perjalanan panjang yang membuatku sampai pada stasiun-stasiun pemberhentian yang bahkan tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Hingga detik ini, ia belum menghentikan langkah kakinya untuk bercerita. Cerita tak berjeda stasiun berikutnya.
Kisah laki-lakiku.
Siapa laki-laki pertama yang mengenalmu. Siapa laki-laki pertama yang memegang tangan halusmu. Siapa laki-laki pertama yang memelukmu. Dan siapa laki-laki pertama yang mencium pipi, lalu keningmu.
Dan aku bertanya lagi,
Siapa laki-laki pertama yang kau kenal. Siapa laki-laki pertama yang kau pegang tangan kuasanya. Siapa laki-laki pertama yang kau dekap erat melingkar tubuhmu. Siapa laki-laki pertama yang kau pandangi mata cokelatnya tak berkedip. Dan siapa laki-laki pertama yang kau ciumi pipi-pipi hitamnya.
Baiklah.
Kan kujawab lantang semua pertanyaanmu. Laki-laki yang telah berikrar sampai mati, akan melindungi dan menjaga ku itu adalah laki-laki pertama dalam hidupku. Dan sekaligus laki-laki yang terakhir. Aku mencintainya sejak sekilas pandang pertama mata sipitku. Sejak mata ini belajar memutar-mutar, melihat sekeliling yang asing. Laki-laki yang kuyakini tak kan menghianatiku. Laki-laki yang kuyakini tak kan mengiritasi hati kecilku. Laki-laki yang kusayangi melebihi muhammad—kekasih Tuhan.

Laki-lakiku, kekasihku tercinta.

Ayahku.







To be continue






salamku,enha.

Sunday, May 16, 2010

Pencuri tulang rusukku



Hai!
Selamat malam
Apa kabarmu hari ini
Hemmm,

Hai kau tulang rusukku
Hatiku berdesir kencang
Aku merindu
Merindumu.

Berapa lama lagi aku harus menyimpan rindu ini
Rindu menjumpaimu.
Rindu
Benar-benar mendekapmu

Hai…
Ah, aku malu menyebutmu dengan nama-nama romantis, seperti gadis-gadis lain.
Hei, kenapa aku jadi merona

Hai kau…
Adakah kau mendengar dan merasakan rinduku
Semoga angin malam ini membawa rinduku padamu
Ah, kedengarannya seperti lirik-lirik melayu, norak.
Tapi aku suka, tak apalah.

Hai kau…
Tulang rusukku
Adakah seberkas rindumu untukku detik ini
Harapku.

Hai kau…
Ah, aku tak romantis ya?
Emmm,bagaimana kalau kau kupanggil habibi, kekasihku
Ah, tidak.
Bagaimana kalau say, sayangku..
Kalau honey, gimana.
Ah, tidak. Tidak. Aku malu.

Hai kau tulang rusukku
Adakah kau mencariku,
mencari tulang rusukmu yang terjebak dalam tubuhku
Tak rindukah kau pada tulang rusukmu yang hilang sejak kau dilahirkan
Apakah ini cara tuhan, agar kau dan aku saling menemukan…

Kenapa tuhan memisahkan kita
Apakah karena sebuah pertemuan yang telah Ia persiapkan untuk kita

Malam berbintang kali ini, membawa sejuta pikirku tentangmu.
Malam berbintang kali ini, juga membuatku menembus batas mimpiku tentangmu,
Seolah nyata dirimu, ternyata tidak juga
Ya, aku tahu sosokmu masih menjadi ilusi pikir

Honey..
Aku mencoba untuk romantic

Aku merindumu
Entahlah, kata apalagi yang harus aku katakan padamu
Kata yang mewakili keinginan hati yang menggebu
Bak pencuri hati yang diserbu
Oleh sang pemburu kalbu
Ingin ku katakan padamu, aku mencintamu
Tulang rusukku


Ah ternyata, kita memang sama-sama pencuri—si pencuri hati.





Bisikan lembut,
Aku merindumu. Banyak hal yang ingin kubagi denganmu. Tentangku, tentang keluargaku, dan tentunya tentangmu. Semoga kau dengar suara hatiku. Kita sudah lama terpisah. Mungkin, sudah saatnya kau menjemputku. Dan aku akan menunggumu. Akan selalu menunggu hari itu, dan hari-hari setelah itu. Kau yang tak ku ketahui namanya hingga detik ini. Keyakinanku tentangmu membuatku terus melakoni hidup yang telah tertulis. Mengikuti cahaya kecil dalam hati. Hingga menemukanmu.


yang tersipu…
malu,



enha,