Wednesday, February 16, 2011

Aku tak benci kau




Jika mereka sama denganmu
Mengapa kau terusik dengan secuil perbedaan yang ada diantara mereka
Katanya kau menyayangi mereka
Jika kau tau, ketakseragaman adalah fitrah dari tuhan
Kenapa kau berusaha menyeragamkan mereka denganmu
Dengan kekerasan pula,
Katanya kau mencintai mereka

Demi agama
Demi moral
Demi tuhan
Dengan semua “demi” itu kau halalkan jalan kekerasan kepada saudaramu seiman

Kau mencurigai keimanan mereka
Kau mengkafirkan keyakinan mereka
Kau menyalahkan ritual sembahyang mereka
Hanya karena tak sama

Entah berapa banyak lagi masjid-masjid mereka kau bakar
Senangkah kau melihat mereka—perempuan, ayah, ibu, anak-anak dan orangtua ketakutan dan menangis karena kehilangan tempat tinggal yang juga kau obrak-abrik
Senangkah jika anak-anak—generasimu tertawa bangga melihatmu melalui televise sedang berteriak-teriak membasmi kemungkaran—katamu dalam spanduk-spanduk yang kau usung—dengan cara mengabaikan keadilan.


Kau memaksa,
Kau benar-benar pemaksa kehendak

Aku tak benci kau dan segala atribut yang menempel didirimu
Aku hanya membenci kekerasan yang kau lakukan

Tuhan;

Haruskah dengan cara perang, konflik diantara sesama kami—untuk memahamiMu dalam satu definisi.

jika Kau ingin disembah dalam satu cara, mengapa kau buat kami berbeda-beda.


















tabik, enha.
gambar dari: azimashaary.blogspot.com

Think of YOU




Berdialog dengan Tuhan. berdialog denganMu memang mengagumkan tuhan. Seperti detik ini, aku sedang membicarakanMu. Sebenarnya, terkadang aku merasa sedang monolog. Karena secara harfiah, aku berbicara sendiri. Tapi sungguh, ketika aku benar-benar merasakan keberadaanMu dalam dialogku, sesuatu yang kasat mata seperti menguatkan keyakinanku tentang kehadiranMu di urat nadiku. Bahkan serasa lebih dekat dari itu. Entahlah, seperti tiada celah diantaranya—urat nadi dan tubuhku.

Tuhan. Detik ini, seraya menatap langit-langit kamar, aku berfikir seperti ini;

“Tuhan meniupkan RohNya dalam diriku saat usiaku enambelas minggu di alam rahim ibu.”

Berarti jika RohMu “bermukim” dalam diriku sejak saat itu. Bolehkah aku mengatakan bahwa kita sebenarnya tumbuh bersama. Terlahir pada detik yang sama. Growing up together. Meski sebenarnya kita berbeda. Atau bolehkah aku mengatakan bahwa Engkau adalah aku , dan aku adalah Engkau. Atau…. Kau adalah aku dan aku bukan Engkau. Ah, terlalu cepat memang untuk sebuah kesimpulan tanpa adanya investigasi yang lebih dalam tentangMu. Iya aku akui itu, kali ini tanpa referensi apapun—aku menulis tentang kita, Kau dan aku. Aku hanya ingin menulis tentangMu, seperti yang aku rasakan. Hanya itu. Jangan marah ya….please;-]

Aku mencoba melanjutkan tafsir liar ini;

Dan kita sebenarnya hanya satu.

Tak ada sekat diantara kita.

Engkauaku.

Seperti ini kah?

Atau,
Engkaulah yang sebenarnya lahir ke dunia dalam wujud diriku dan manusia-manusia lain yang kau ciptakan? Aku hanyalah “tanah berbentuk” yang kau ciptakan untuk menempatkan diri—RohMu, bersemayam dalam tubuh lemahku. Dan karena Engkaulah, aku menjadi kuat.

Atau bagaimana?

Aku jadi tertawa sendiri Tuhan ketika otak ini memaksa memikirkan hal-hal lugu, yang takkuketahui kebenaran sesungguhnya.

Tapi sungguh, tanpa referensi atau teori-teori apapun tentang Mu, hatiku tak menolak tentang keberadaanMu.

Sungguh, Tuhan. Aku tak berbohong.

Emmm…
Apakah pernyataan ini juga karena Engkau yang meyakinkanku, memaksaku untuk mengeluarkan pernyataan itu?

Ah, tuhan….

Entahlah, aku jadi berkaca-kaca membayangkan ini.

Apalagi ‘membayangkan’, meski sebenarnya aku mengiyakan kebenaran ini; Engkau dan aku menghirup udara yang sama. Tertawa bersama. Merasakan kesedihan bersama. Hidup dalam degup jantung yang sama. Merasakan bersama-sama tiap detik detak jantung berdetak. Dan dan ketika aku berfikir, seperti detik ini, sebenarnya Engkaulah yang berfikir. Lantas, kenapa Engkau perlu berfikir?. Dan apakah seluruh karakteristik, sifat dan nafsu manusia adalah salah satu manivestasi dari bentuk diriMu yang sesungguhnya. semuanya itu ada dalam tubuhku—manusia, tuhan.

Inikah yang namanya Ruh, tuhan? Ruh, yang tak ku ketahui ilmunya. Sungguh, Ruh adalah hanya urusanMu.

Secuil.

Hanya sedikit saja ilmu tentang ruh itu Kau bagi dengan kami.

Oh, tuhan.
Dari secuil ilmu ruhMu, aku tak punya secuil pun pengetahuan tentangnya.
Maaf—jika aku melampaui batas.

Tuhan.

Sungguh, aku hanya ingin mengatakan;

Mengagumkan berdialog denganMu dan ayat-ayat semestaMu.

MemikirkanMu sesederhana mungkin,

meski sebenarnya Kau tak se-simple yang kubayangkan,

Kau juga tak seruwet teori-teori para filusuf yang kubaca, meski aku menyukainya.

Kau—begitu mudah kukenali.

Kita saling mengakrapi

Itu cukup,

dan itu sungguh menyenangkan,
bagiku.

;-)














Tabik, enha;-)
gambar diambil dr http://browse.deviantart.com/?q=think%20of%20you#/d1y45ic

Monday, February 14, 2011

kangen rosul




Muhammad.
mengenalmu tak kalah menyenangkannya dengan mengenal Tuhan

Muhammad.
Mengenalmu jauh menitikan airmata daripada mengenali diri

Muhammad.
Kau membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya

Muhammad.
Kau tahu dimana pertama kali aku mengenalmu—di rumah kecilku, dan kau tau dari siapa aku mengenalmu—dari mulut-mulut baik ayah-ibuku lewat lantunan sholawat buatmu.

Muhammad,
Apakah kau ingin tahu lebih jauh lagi? Bagaimana aku bisa mengenalmu dan mengakrabi namamu dalam hatiku, serasa telah lama bertemu –melebihi usiaku.

Muhammad,
setelah dari darah dagingku dan rumah kecil tempatku dilahirkan, aku mengenalmu dari rumah tuhan—lewat mulut-mulut baik para guru ngaji.

Muhammad,
Mereka semua bertutur baik tentangmu. Serasa Kau ada di depan mata dan hidup berdampingan denganku.

Tapi, ya Muhammad…
Ketika aku beranjak dewasa, begitu banyak caci-maki sesamaku tentangmu
Apalagi sekarang, zaman sudah tak lagi berada dalam lingkaran masamu. Saat engkau telah jauh meninggalkanku berabad-abad.

Muhammad,
Terkadang aku sakit hati, jika mendengar hal-hal buruk apapun yang mereka labelkan pada nama agungmu. Aku tak terima, muhammad. Terkadang juga ingin rasanya membalas menghujat mereka. Tapi aku memilih diam. Seperti katamu, mereka hanya tak mengenalmu saja. Tak tahu hal yang sebenarnya tentangmu. Dan nasihat inilah, yang membuatku memilih cara lain untuk membalasnya.

Muhammad,
Kau tau, bagaimana aku membalasnya. Tetap bersikap santun, tetap menjadikanmu suri tauladan dan tetap menyebarkan (memberikan contoh) ajaran-ajaran kebaikan yang telah kau ajarkan. Meski semua itu hanya aku yang mentasbihkannya sebagai balasan yang arif.

Muhammad,
Memang aku akui, tak semua memilih seperti itu. Sebagian dari umatmu yang sakit hati membalas dengan sikap Anarki atau kekerasan. Kau tahu, aku sedih melihat ini. Lebih sedih ketika mendengar namamu dan sosokmu dihinakan. Karena menurutku, sikap anarki atau kekerasan (membalas menghujat) yang ditunjukan sebagian dari saudaraku, menjadikan nama agung dan indahmu bertambah luka. Sikap anarki akan menimbulkan pandangan yang lebih buruk tentangmu. Dan menjadikan mereka semakin menjadi-jadi untuk memperburuk biografi hidupmu. Semoga kau memaafkan kami.

Muhammad,
Jujur, aku harus sadar. Bahwa saat ini kita sungguh ber-j-a-r-a-k.

Muhammad,
Iya. Ber-J—A—R –A –K, muhammad,

Ber-J—A—R—A—K.

Dan jarak ternyata membuatku menyadari sesuatu, sesungguhnya aku belum begitu mengenalmu. Terlihat jelas dari sifat dan sikapku, jauh dari sifat dan sikap yang ada dalam teladanmu.

Kenapa aku jadi menyalahkan JARAK?
Inikah yang menyebabkan kita semua mempunyai sudut pandang berbeda tentangmu. Atau hanya karena kami kurang mengenalmu.

Muhammad,
Sungguh aku merindukanmu, kekasih.

Muhammad Kekasihku,
sungguh aku tak malu menyebutmu demikian seperti aku malu menyebut lelaki lain sebagai kekasih.

Muhammad,
Meski saat ini aku hanya bisa memandangi namamu melalui kaligrafi—karya tangan-tangan yang mencintaimu.

kangen sosokmu rosul...
menatap jauh punggungmu
aku disini
tetap menatap
dan
iqra'

kangen rosul...














Tabik, enha.

larutkan nyanyian malam




Tuhanku
Ku ingin bercerita
Ku tunduk bersujud
Ku mulai berdoa

Lelahnya jiwaku
Beratnya langkahku

Tuhanku
Ku rindu tawaku yang dulu
Kejujuran kebenaran yang dulu ku tahu
Ke mana semua
Sejauh itukah
Ku sesal sudah

Peluklah semua tanyaku
Jawablah dengan cara Mu

Tuhanku
Ku ingin berkelana
Kembali mencari jalan ke rumah
Bukan di sini tempat ku
Bukan mereka yang ku cinta

Hari ini
Ku mengenali
Arti keberanian
Yang menerbangkanku
Di atas semua derita
Dan apa kabarnya

Usai semua sandiwara
Cukup ku berpura pura
Sejujurnya
Hanya dia yang ku cinta
Ke hatinya aku ingin pulang





"...sedang bertafaku dengan nyanyian pulangmu--dee..."

Cerita Perempuan kecil dan Payung hitamnya





Apa kabarmu wahai perempuanku. Seribu wajah mudamu terlukis dalam ingatan. Tersketsa jelas. Sejelas senyum yang kau bagi buatku malam itu. Ini perjumpaan pertama ku denganmu di malam bulan syawal;setelah cukup lama tak menjumpai wajahmu yang familiar dalam selaput pelangi mataku.

Adakah pesan ingatanku tentangmu pagi ini. Tak elak lagi, aku merindukanmu.
dan, bagaimana kabar payung hitam mu? Payung hitam yang kau pakai untuk melindungi tubuh kecilku dari gelontoran hujan-hujan sore itu.

Apakah kau bertanya, kenapa aku masih ingat dengan payung itu?. Tentu. Aku harus mengingatnya. Momen bersamamu dan payung itu tak kan lekang di gilas usiaku.
Jujur, kenangan indah bersamamu di waktu kecil, membuatku sengaja berniat untuk menjaga dengan sungguh-sungguh kepingan mozaik kehidupan yang kubangun denganmu. Terlalu indah untuk menyingkirkanmu dalam ingatan dan hati kecil ini.

Kau tak tau bukan, apa yang ada dibenakku—anak bertubuh ringkih kelas tiga esde. Saat hujan benar-benar membuatku takut untuk pulang seusai sekolah sore tahun 1995. Lima belas tahun yang lalu. Keluar dari gerbang sekolah, segera aku merayap dan berteduh dipondok bambumu.

Ibumu tak menjemputmu? Tanyamu.

Mungkin karena langit sore itu berselimut mendung hitam pekat. Aku disuruh menunggu diwarung rujakmu, pikirku dengan wajah kekhawatiran.
Namun mendengar kau berucap, “pulang sama saya saja, dan tunggu sebentar. Saya beres-beres warung dulu”.
Dan detik itu pula, ketakutanku akan badai sore itu menghilang tiba-tiba. Aman, Itu yang kurasa setelah mendengar ucapanmu.

Dan kita pun menyusuri jalan pulang kerumahmu. Setelah sebuah plastik hitam mendarat di tanganku—pemberianmu, untuk membungkus tas dan sepatu kasogi milikku. Ternyata kau khawatir juga. Hujan membasahi buku dan sepatu satu-satunya yang kupunya.
Sama-sama tanpa alas kaki, kau dan aku tetap berjalan di atas tanah licin dan berlumpur, disertai hujan lebat sore itu. Seperti biasa, kau berjalan membelakangiku. Aku mengikuti derap langkah kaki cepatmu menapak jelas diatas jalan setapak berlumut mendekati gubukmu. Tanpa kata. Hanya suara hujan yang mewakili kebisingan diantara kita. Dan masih ingatkah kau dengan rel-rel kereta api yang kita sebrangi, menuju rumahmu. Rel-rel mati itu menjadi saksi hidup mozaikku bersamamu. Sungguh, itu cukup bagiku.

Setengah jam kemudian, nampaklah hunianmu. Kau masuk lewat pintu belakang, hanya untuk meletakkan barang-barang kotor bekas jualanmu hari itu. Tanpa berkedip, mataku mengikuti gerak tubuhmu mengitari ruang kecil beratap daun kelapa yang mulai menua. Ruang yang baru aku ketahui fungsinya, untuk tempatmu beristirahat bersama nenek tua, ibu dari ibu kandungmu.

Tanpa jeda sedikitpun, kau ambil payung hitam milikmu untuk mengantarku pulang. Aku tahu, jarak rumahku terlalu melelahkan untuk ditempuh dengan kaki-kaki ini. Tapi tak kau tunjukkan sedikitpun kelelahanmu. Aku salut. Dan terimakasih.

Payung hitam itu, masih sangat membekas dalam sketsa kecilku. Kau dan payung hitam itu, sungguh mulia. Cukup membuat kepalaku terlindungi derasnya hujan.
Kita berbagi sebuah payung. Kau selendangkan tangan kananmu diatas pundakku, isyarat agar tubuhku lebih dekat denganmu. Merapat, serapat-rapatnya. Dan lagi-lagi tanpa sepatah katapun meluncur dari bibir birumu yang menggigil. Kau dan aku menelusuri jalan setapak, sepanjang sungai kecil yang telah berubah lebih menyeramkan karena banjir besar menerjang. Sungai kecil itu meluas hingga sepuluh meter. Naik tiga kali lipat dari sungai kecil biasanya. Akan lebih menyeramkam, ketika waktu itu aku sendiri menyusuri jalan pulang.

Tapi sore itu malaikatku datang…..

Dan baru aku tahu, kaulah malaikat itu. Malaikat yang menjaga anak kecil dari mara bahaya. Meski aku juga tahu, tak ada malaikat berkelamin perempuan. Ah, itu tak penting. Adalah yang jelas dan paling penting—kau baik sekali padaku.

Dengan seluruh tubuh yang basah kuyub dan bibir yang membiru, aku pun sampai dirumah.
Kau dan aku berdiri mematung beberapa detik di depan pelataran rumahku yang tergenang air tigapuluh senti.

Mematung.

Dan tiba-tiba kau, hanya berucap pamit pulang setelah ucapan terima kasihku mendarat dari bibir kecilku yang kelu karena menggigil kedinginan.

Dan…

Kaupun mulai menjauh….










berjalan…



memunggungiku….

jauuuuuuuuh…

kembali pulang berteman hujan dan payung tua yang saling bicara dalam kebisuan.
Kau dan payung hitam itu bercerita.
dan aku,

mulai membacanya….…

Seperti saat ini.

Aku senang kau sehat dan baik-baik saja malam itu. Kau mulai nampak menua memang. Seraut wajahmu terlihat keriput. Tapi senyummu malam itu, tak menghilangkan wajah mudamu yang kukenal saat kecil dulu. Tubuhmu yang mungil, masih tetap saja. Sangat tampak sekali, aku mengejarmu.

Memelukmu malam itu memaksa otakku memutar kembali kenangan kita berdua, kau dan aku. Pelukanmu dan pelukanku saling meng-erat. Kemudian saling lepas pelukan, dan saling menatap. Mungkin dalam pikirmu, “kau sudah besar, wajah kecilmu sudah semakin terlihat memburam. Kini wajah-wajah mungilmu menemukan bentuk kedewasaannya”. Senyumku mengembang. Kau tau apa yang ada dalam pikirku saat menatap matamu malam itu, “Kau perempuan baik, aku tak kan menghianati ingatan kecilku—tuk melupakanmu”. Semoga, sang waktu tetap menyiapkan menit-menitnya untuk pertemuan kita kembali.








Persembahan untuk;
Perempuan yang aku cintai, selain ibu.
Tabik, enha.

gambar dari http://browse.deviantart.com