Thursday, August 18, 2011

Si Tua, Si Tuli Dan Sepeda Kumbang




Gadis kecil berseragam merah putih sedang menggigit-gigit jari manisnya. Terlihat seperti kebingungan. Cemas, lebih tepatnya. Matanya bergerak-gerak cepat kekanan-kikiri. Kepalanya yang kecil mengikuti gerak tubuhnya yang lincah mencari sesosok tua dan beruban. Sudah lima belas menit waktu berlalu dari pukul 12.15, si tua belum kelihatan juga. Gadis kecil terlambat. Jantungnya berdetak hebat. Takut terlambat sekolah.

Jam satu siang masih 30 menit lagi.

Namun, sekolah begitu jauh untuk ditempuh 30 menit dengan sepeda butut. Gadis kecil tambah resah. Dalam hati ia berkata, kek..!cepatlah datang, aku butuh bantuanmu!!!
Dari kejauhan, bayangan laki-laki kurus dengan sepeda tua yang telah menemani kaki-kaki tuanya menempuh sebuah perjalanan, muncul tiba-tiba.

Gadis kelas tiga itu, akhirnya melengkungkan bibir tipisnya. Si tua dan sepeda kumbang tuanya mendengar harapannya.

Cepat kek, aku terlambat! Kata si gadis berbisik.


Sunyi.

Ia, si tua beruban itu, hanya diam saja.

Si gadis berseragam merahputih itu kemudian menaiki boncengan sepeda kumbangnya dan duduk sambil tangan kecilnya memegangi lapak yang hampir lepas kulit penutupnya. Sangat erat.

Sepeda kumbang melaju perlahan.
Jalan setapak pinggir kali menjadi pilihan sepedanya mengantar gadis kecil yang ia sebut, cucu.

Gemericik air kali, memecah kesunyian diantara perjalanan dua insan tua dan sangat muda ini. Dinginnya air kali, mengurangi rasa panas dari terik matahari di kepala kami. Meski, panas masih sangat terasa di bun-ubun. Tak luput membuat rambut si gadis bertambah merah. Nampak sekali si gadis kampung, kurang vitamin. Panas sudah menjadi kawan karibnya.

Kami masih terdiam.

Gadis kecil masih duduk tenang dan masih berharap semoga ia tak terlambat. Si tua pun masih mengayuh sepedanya. Pelan.

Tenang tanpa kata.

Mata si gadis berbinar-binar, dari kejauhan rel-rel kereta nampak dipeluk mata. Pertanda gedung sekolah hampir di depan mata.

Akhirnya, si tua pun memberhentikan sepedanya dan turun. Menoleh kebelakang, sambil tangan kirinya tetap memegang stir sepedanya, si tua melihatnya turun dari boncengannya. Si gadis kecil mengambil tangan kanan si tua, lalu diciumnya.

Aku sekolah dulu ya kek! Assalamualaikum...., katanya pamit.

Wa’alaikumussalam, jawabnya.

Mata si tua masih mengikuti langkah kaki-kaki si gadis menyusuri rel-rel kereta yang harus dilalui untuk menuju gedung sekolah yang sebenarnya. Enam hingga tujuh jalur kereta api yang harus ia tempuh. Loncat sana-loncat sini. Berburu waktu. Sekolahnya berada di balik rel-rel mati itu.

Si gadis berseragam merahputih ahirnya berhasil melewati 7 jalur rel mati itu. Ia, si tua beruban itu masih disana—ditempat dimana si gadis kecil mencium tangan keriputnya. Gadis kecil melanjutkan perjalanannya yang tinggal beberapa meter lagi. Sepertinya mata si tua sudah tak melihat bayangan si gadis. Tiba-tiba terpikir oleh si gadis kecil, mempercepat langkah kaki mencari semak. Dan sekilas petir, ia melesat, bersembunyi.

Gadis kecil ingin melihatnya, pulang.

Si tua memutar sepeda kumbangnya. Dan punggung itu, yang telah melengkung 25 derajat pun menjauh bersama bayangan hitamnya.

Gadis kecil terdiam.

Dan terdengarlah suara bel sekolah, tepat bersamaan dengan kaki kirinya melewati gerbang sekolah.

intermission.

Suatu hari yang lain, masih dengan seragam merahputihnya. Gadis kecil itu lagi-lagi sedang cemas. Seperti biasa, masalah telat ke sekolah. Siang itu si gadis berseragam merahputih itu, menunggu seseorang yang akan mengantarnya ke sekolah. Kali ini, bukan situa yang ia tunggu. Si yang lain, yang ia tunggu. Si itu adalah pak de kesayangannya, yang tak kunjung datang. Ia memanggilnya, wak. Kurang 20 menit lagi jam masuk sekolah.

wak pun datang tiba-tiba.

Aih, kemana saja wak ini!! Sambil menunjuk jam tangan yang sebenarnya tak ada, dengan berkomat kamit kata “telat, ayo cepet” tanpa bersuara! Gadis kecil menggerutu.

Seperti si tua, iapun tak menjawab apa-apa.

Langsung saja, si gadis naik dan berbonceng di sepeda kumbang milik si tua. Ia mengayuh kecang sepedanya. Seperti biasa, kami melewati jalan setapak pinggir kali.

Asyiiiik!kata si gadis memecah sunyi.

Lumayan meski panas, tapi karena wak mengayuh sepedanya agak kencang membuat semilir angin segar merambati seragam putihnya melewati ketiak kanan-kirinya. Si gadis senang bukan kepalang.

Kali telah mereka lewati. Tak ada lagi suara gemericik yang menyejukkan itu. Kini yang terdengar hanya suara gesekan sayap ban belakang sepeda kumbangyang nyaris saling menempel. Tepat dibawah boncengan yang diduduki si gadis.

Srek..srek..sreeekk...

Srek..srek..

Srek..

Si gadis mencari bunyi itu berasal. Tengok kanan-kiri sebelah kaki-kakinya.

Srekk..
Srek..sreek.srekkk...srekk...

Roda masih terus berputar. Meski semakin berat kayuhnya. Si gadis berseragam merahputih merasakannya. waknya dengan sekuat tenaga, mempercepat kayuhnya. Dan...

Srekk..srek...srekkk,

Masih sering kali terdengar mengiringi kesunyian perjalanan mereka melewati perkebunan warisan milik salah satu warga dekat rumah mereka.

Tiba-tiba sampailah di perbatasan rel-rel mati.
Si gadis kecil pun turun.

Dan seperti biasa, ia ambil tangan kanan waknya, diciumnya seperti mencium tangan situa—kakeknya. Sambil berkata “ aku berangkat dulu ya! ” tanpa suara dengan mulut seperti orang kehabisan suara karena menyanyi atau banyak teriak atau bahkan seperti seorang tuna wicara.

Ia hanya menganggukkan kepalanya, mengijinkan gadis kecil pergi ke sekolah.
Matanya mengikuti langkah si gadis kecil di rel mati. Kosong.

Namun sebelum selesai melewati jalur rel mati itu, gadis kecil melihatnya sedang memutar sepedanya.

Dan pulang.

Ia waknya, si tuli—pak de kesayangannya. Anak pertama si tua.
Memunggungi si gadis.

Matanya berkaca.

Dan ia, si gadis berseragam merah-putih ini masih belum bisa membacanya. Lagi-lagi hanya bisa terdiam.



Ziarah ingatan. Begitu fahd djibran, penulis muda favoritku, mengistilahkannya. Akupun menyukai istilah ini. Kata ziarah biasanya kita gunakan untuk hal yang berkaitan dengan orang yang meninggal, kuburan dan sebagainya. Berziarah adalah mengunjungi kembali, mengenang, mendoakan mereka yang sudah tiada. Ziarah ingatan berarti mengenang kembali, bersilaturahmi lagi dengan kenangan yang tertinggal. Kata fahd, ziarah bukan saja mengenang bagi mereka yang sudah tiada. Kadang-kadang yang paling sering kita lupakan justru kenangan-kenangan indah bersama mereka yang masih hidup. Katanya lagi, kita bisa membuang ingatan, tapi kita tak bisa menolak kenangan. Sebab tak semua yang kita ingat akan kita kenang, tetapi semua yang kita kenang tersimpan baik dalam ingatan.

Si gadis berseragam merahputih kelas tiga itu, yang berambut merah karena sengatan matahari, yang selalu cemas akan keterlambatannya ke sekolah, yang selalu menunggu dua orang tua itu adalah aku, si empunya cerita original ini.

Kisah yang kuceritakan ini adalah bentuk ziarah ingatanku kepada dua laki-laki itu—lelaki yang juga aku cintai, selain ayah. Kalian berdua adalah darah daging ibuku. Bersama ibuku, kalian adalah ladang amal bagiku. Kenangan bersama kalian dan sepeda kumbang itu, takkan ku eliminasi dari sudut pikirku. Apapun yang terjadi selama bermetamorfosanya gadis berseragam merahputih itu hingga kini, baik-buruknya kalian berdua, tak jadi soal. Kalian tetap kuanggap laki-laki baik yang kukenal sejak kecil. Laki-laki baik . Tak lebih dan tak kurang. Kalian, Laki-laki yang juga masuk nominasi akan ku cintai sampai akhir hayat. ;-)

Sepeda kumbang yang baik hati. Terima kasih telah menyelamatkan ku dari terlambat kesekolah. Terimakasih juga telah menemani dua laki-laki itu mencari sesuatu untuk mengisi perut-perut mereka. Sesuatu untuk keluarganya dan sesuatu untuk yang mereka pelihara lainnya, kambing-kambing dan sapi milik orang. Terimakasih telah membuat mereka hidup sederhana, sesederhana dirimu. Tapi yang jelas, kau tak membuat hidup mereka sesederhana itu dimataku. Kau dan kedua laki-laki itu begitu kaya di hatiku.

Begitulah...










Dedikasikan untuk wak idris dan anang saleh, dua insan anak-beranak.
Kisahmu belum tuntas kuceritakan. Ini hanya sekelumit ziarah ingatanku malam ini.





cheers;-)

Wednesday, August 17, 2011

Rp.1000 Untuk Nasionalisme




Saya tak pandai berbicara tentang Nasionalisme sebetulnya. Judul itu hanya profokasi, kawan. Ups?!nggak juga sebenarnya. Jika kau tanya apa definisi tentang nasionalisme. Pasti saya hanya senyum-senyum saja. Iya, hanya senyum. Tengok kanan tengok kiri. Mencari jawaban? Ah, tentu tidak! Pertanyaan itu pasti saya biarkan liar terbang ke angkasa. Terserah angin yang mau membawa pertanyaan itu. jika sampai ke planet mars, semoga saja makhluk mars menemukan jawaban yang baik dan bijak. Haha..saya, terlalu beyond imagination! Saat ini, definisi atau sejenis puluhan untaian kata yang katanya menunjukkan makna nasionalisme itu tak penting buat saya. iya saat ini!

Maka dari itu, tentu saja saya nggak akan bicara nasionalisme dan teori-teorinya di sini dan saat ini.

Saya Cuma ingin cerita, haha;P...

Lebih gak penting sepertinya!hehee...

Ok lah, boleh gak percaya sama cerita saya! tapi bacalah untuk kali ini.

Begini...,

....sebuah bis angkutan umum melaju sepoi-sepoi seperti perahu layar sore hari. Seorang sahabat sedang berada di dalamnya. Ia sedang dalam perjalanan menuju blitar, ke rumah teman karibnya. Sepanjang perjalanan hanya diam mewakilinya. Melamun, khas anak perempuan ketika sendiri. Padahal di dalam bis begitu “ramai”. Selain penjaja makanan, penjaja korek-pisau dapur, pengamen hilir mudik, bergantian menghibur.
Perempuan itu masih melamun.

Penumpang lainnya, asyik dengan keasyikkannya sendiri. Penjaja dan pengamen yang naik turun, drastis tak memperoleh perhatian sedikitpun. Ada yang terhibur. Ada yang beli karena kasihan. Ada yang males. Ada yang ngantuk. Ada yang sumpek. Dan ada yang menggerutu, pengamen maneeh!!! ...ra mari-mari mulai mau!!

Sepi merambat.

Dan tiba-tiba lamunan perempuan itu dan penumpang lainnya terbuyarkan oleh suara seorang pengamen. Pengamen yang lainnya. Kali ini sipengamen tidak sedang menghibur dengan bernyanyi, tipikal pengamen-pengamen kebanyakan.

....

Suaranya tiba-tiba menggelegar. Memecah keheningan perempuan itu...

Mana, ada negeri sesubur negeriku.
Ia memulai performancenya.
Mana, ada negeri sesubur negeriku
Sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu dan jagung
Tapi juga pabrik, tempat rekreasi dan gedung
Perabot-perabot orang kaya di dunia, dan burung-burung indah piaran mereka,
berasal dari hutanku
Ikan-ikan pilihan yang mereka santap, bermula dari lautku
Emas dan perak, perhiasan mereka, digali dari tambangku
Air bersih yang mereka minum, bersumber dari keringatku
.....


Penumpang melongo. Seperti ada sesuatu yang menampar dalam dada-dada para penumpang. Perempuan yang melamun itu menggerakkan kepalanya ke kanan, mencari dimana posisi pengamen berada. Suara itu menghipnotisnya, agar memperhatikan si pengamen berorasi.
Pengamen melanjutkan. Kali ini begitu mendayu-dayu. Masuk kerelung hati perempuan itu.

Suaranya yang berat menambah aura magis orasinya.
Mana, ada negeri sekaya negeriku
Majikan-majikan bangsaku memiliki buruh-buruh mancanegara
Brangkas-brangkas bank ternama dimana-mana
Menyimpan harta-hartaku,
...
Negeriku menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis habis kaum melarat
Rata-rata pemimpin negeriku dan handai taulannya
Ter K-A-Y-A di dunia
....


Suara pengamen itu sungguh menyayat. Merinding menyelimuti hati para penumpangnya. Ia menyadarkan hal yang paling mendasar sebagai warga negara atas kecintaan pada negeri ini. Ia menyadarkan ke”acuh”an kita pada masalah bangsa ini.

Si pengamen belum selesai, ia meneruskan dengan intonasi yang tegas.
Mana, ada negeri semakmur negeriku
Penganggur-penganggur diberi perumahan,
Gaji dan pensiun setiap bulan
Rakyat-rakyat kecil menyumbang negara tanpa imbalan
Intonasi nya makin tegas dan galak.
RAMPOK-RAMPOK!
Diberi rekomendasi dengan kop sakti instansi
MALING-MALING! Diberi konsesi
Tikus dan kucing dengan asyik berkolusi!
.....


Ia mengakhiri orasinya.

Intermission.

Seperti pengamen-pengamen lain, setelah perform sipengamen mendekati satu persatu penumpang untuk “upah” menghiburnya hari itu. Ia mendapatkan berkah. Sebagian penumpang bis memberinya lebih dari standart pemberian seseorang kepada pengamen. Orasi si pengamen benar-benar menyadarkan.

Dan sahabat saya memasukkan uang Rp.1000 ke kantong plastik yang disodorkan si pengamen. Sepertinya ia tersentil orasinya. Orasi yang membangkitkan rasa nasionalismenya terhadap bangsa ini. Rasa yang telah lama terkubur debu berabad-abad. Namun hari itu, debu yang menutupi “rasa” itu seperti tersapu habis oleh angin segar dalam orasi si pengamen. Rasa itu menguat melebihi definisi apapun tentang nasionalisme. Rasa yang telah dihadirkan kembali oleh sebuah orasi seorang pengamen. Sebuah Orasi yang menyuruh kita untuk menengok kembali apa yang terjadi pada bangsa kecintaan kita ini.

Tengoklah!dan sisakan sedikit pedulimu!

Hah!
Haruskah kita membayar 1000 rupiah untuk membangkitkan jiwa nasionalisme kita? Seribu rupiah untuk cinta akan bangsa ini. Sebegitu hilangkah rasa nasionalisme itu didada-dada kita. Hingga harus membayar? Sepertinya memang iya!

Haruskah kita butuh seseorang yang menyadarkan kita, seperti “si pengamen” itu untuk sebuah rasa “nasionalisme” yang terpatri di dada-dada kita? Sepertinya memang iya!
Dan yang jelas, sebenarnya kita tak butuh definisi panjang tentang nasionalisme. Sepertinya memang iya!

Tidak lagi sepertinya?! memang iya!

Tak perlu berpanjang-panjang tentang hafalan nasionalisme.

Rasa.

Kita perlu merasakannya dan kemudian menyadarinya. Setelah itu bertindak, itu terserah kita! Dengan cara dan kemampuan kita.

Hah!
Entahlah!

Saya pun hanya bisa prihatin melihat ini. Lebih prihatin lagi pada diri saya, yang juga ternyata butuh “mereka” untuk menggugah kecintaan pada negeri ini. Hah! Ini adalah iman seorang yang lemah.

Kenapa saya tiba-tiba resah?

Resah melihat generasi saya, anak-anak muda hari ini, lebih memilih mengharumkan budaya bangsa lain di “rumah” sendiri. Saya resah kalau mereka (anak-anak muda hari ini) semakin menjadi peniru/penjiplak/duplicate, mengimitasi total budaya lain, dan menjadikannya tren di negeri sendiri.

Oh, pemuda!

Oh, pemudi!

Oh, boysband!oh, girlsband!

Lho koq?

Oh, koreanpop!oh,koreanpop!

Lho?Lho?!!!

Oh, mereka semakin menjadi-jadi dinegeri ini!

Saya lagi resah, tentang yang satu itu.

Untuk menjadi modern tak harus western kan? Modernisasi tak harus Westernisasi. Modernisasi Indonesia dengan cara Indonesia. Saya tahu, saya tak punya solusi riil tentang ini.

Hahaaa...(saya tertawa untk menutupi ketakmampuan ini:D)

Jangan percaya!







Cerita ini adalah pengalaman pribadi sahabat saya, mb.obib.
Saya terinspirasi dengan pengalaman “merinding” itu.
Orasi bercetak tebal itu adalah
Sebuah puisi milik M.Bisri, penyair kecintaan saya.
Untuk indonesiaku, kecintaanku.
17 Agustus, 2011.





Wednesday, August 10, 2011

Sepotong cerita tadi malam




Wajahnya mengisyaratkan kebebasan. Tapi tetap dengan kantung mata yang sedikit membesar, seperti belum sepenuhnya bebas. Pucat, tapi tak sakit sebenarnya. Ia tak ambil pusing dengan penampilannya tadi malam. Seperti biasa, tanpa make up. Berkaos hitam, berbalut jeans buluk. Dan entah sudah berapa hari tak dicucinya. Saya menyebutnya “preman kampus”. Hahahaa....(bercanda;-)

Nduk, saya menyebut si preman kampus itu, alias niken dalam kesehariannya.
Malam itu, ia dan kawan-kawan punya gawe besar. Merayakan sebuah kelahiran. Kelahiran bayi yang sudah 5 tahun dalam kandungan. Malam itu pecahlah sudah.

1800 detik jauh sebelum itu.

Lewat sebuah pesan singkat, ia memberitahukan sesuatu tentang kelahiran itu.
Memutar memori:cover2sas dan ideas
yang smpat terdokumentasi brderet
mwarnai dinding ruang tamu ideas.
Hari ini, brtambah lgi
satu wajah sampul ideas.
Kamipun ingin memutar memori,
brtemu dg wajah2 yang smpat
kami kenal jauh sblum itu.

Launching Tabloid
Mahasiswa IDEAS,
Edisi XIII,thn
2011. “Kriminal Bukan Sampah”
Aula fak.Sastra. Jam 18.00
Pemateri:-erdi setiaji, dosen psiko unmuh
-wachid sugiono, kpla kplp lapas kls IIa jbr

Matur tenkyu, terima kasih atas dukunganx.
(ini und bkn curhat;)-)

Detik itu juga, hati saya seperti tersiram air hujan. Terharu. Menyejukkan skaligus merinding bacanya. Kalimat-kalimat itu khas sekali, anak ideas. Kangen. Sayapun membalas,
Turut berduka, eh bersuka. Sudah lama sekali
Tak menerima good news sperti ini. Selamat atas
Kelahiran bayi kalian;-). Thn dpn pux baby lagi ya,hehee..

Ah, ahirnya kalian menerbitkannya.
You are still alive.

27 juli 20011. 19.00 Wib.
Saya membaca Salam Redaksi yang tertulis di tabloid edisi ini, sesaat setelah mengisi daftar undangan di dpn pintu aula.
Saya kutip beberapa paragrap.

Hard to say i’m sorry...
Januari 2010. Sedikit bocoran, kawan, itulah untuk pertama kalinya setelah menghabiskan waktu dan tenaga untuk reformasi kepengurusan, sisa-sisa awak kapal ideas berkumpul dan membincangkan Tabloid Ideas edisi XVIII. Kami menyebutnya rared, rapat redaksi, yang pertama. Kemudian 18 bulan setelahnya tabloid yang kami bincangkan saat itu, sebendel kertas yang terlalu lama hidup dalam ide kami itu (pada akhirnya...) sampai juga di hadapan anda. Maka sekarang, silakan!mungkin anda ingin tertawa atau bahkan mengumpat. Kami sudah tertawa dan mengumpat sebelum anda. Meski kami sendiri tak yakin akan makna tawa itu.

Atau mungkin ada yang berbaik hati menyimpan rasa simpatik, sambil garuk-garuk kepala bertanya keheranan: apa saja sih yang kami perbuat selama itu?
Tapi sepertinya kami tak akan membahas itu disini.
Tak ada pembelaan, penyangkalan atau apologi dari kami atas keterlambatan terbitnya tabloid ideas selama lebih dari satu periode kepengurusan, ditambah dengan 5 tahun kekosongan terhitung sejak Desember 2007, tahun dimana ideas masih sempat menerbitkan tabloid edisi ke XVIII.

Bukan karena kami merasa benar dan menganggap keterlambatan itu wajar, tapi tidakkah kita bosan dengan keterlambatan yang terus berulang dan (oleh karena itu) apologi pun melulu diucapkan, seakan semua tuntas hanya dengan satu kata maaf. Maka sudah ya, biarkan dia menjadi topik kita di warung-warung kopi saja, mungkin sambil mendengarkan musik dari Chicago.
...
Saya dan mb.shobib pun ikutan ngakak, tapi tak berani mengumpat!takut;-P


Musik akustik “rumah perempuan” terdengar , tepat saat saya dan kawan2 yang lain sudah memasuki aula. beberapa menit kemudian acara memasuki diskusi inti, Laput ideas 2011 yang menjadi headline besar. Seperti yang ia tulis dalam undangan smsnya, Launching Tabloid Mahasiswa IDEAS, Edisi XIII,thn 2011. “Kriminal Bukan Sampah”.

Kriminal Bukan Sampah, headline dalam cover tabloid edisi thn ini. Ketika disinggung oleh salah satu penanya, kenapa kalian (pers sastra) mengangkat tema ini sebagai laput. Bukankah ini adalah lahan dari anak pers hukum atau fisip paling tidak. Karena headline ini pasti akan berjibaku dengan hukum-hukum, aturan2, undang-undang yang tidak sama sekali ada hubungannya dengan sastra. Menurut si penanya, sastra itu mengkaji puisi, karya sastra atau yang berkaitan dengannya.

Pikir saya waktu itu, ah maklum saja si penanya bukan anak sastra. Kalau ia menganggap tema itu bukan ruang lingkup sastra. Wajar saja.

Tapi saya senang ia bertanya demikian. Karena akan memaksa niken dkk, untuk bercerita behind the story nya.

Sederhana sekali, jawaban niken. “ ide ini berawal dari sebuah tulisan “coretan bangku”, yang mana kita ketahui, bangku-bangku kuliah(kursi-kursi) di sastra masih menggunakan bangku kayu. sewaktu saya kuliah, tak sengaja membaca tulisan dalam bangku: “ Sastra: Memanusiakan Manusia”. Jadi kami ingin mengangkat sisi humanisme nya, bahwa kriminal bukan sampah masyarakat, tapi mereka justru bagian dari masyarakat itu sendiri.

Niken, wajahnya sumringah. Entah apa yang ia rasa malam itu.

Sepertinya ia harus berterima kasih kepada penulis coretan di bangku itu. Kalimat yang tidak asing bagi anak2 sastra sebenarnya. tapi bisa menjadi Inspirasi. Coretan bangku?!! “Semua” berasal dari coretan itu. Yah, walaupun tidak semua, paling gak secuil kalimat itu jadi sebuah gerakan atau harapan dalam penyelesaian ideas.

Saya teringat iwan fals dengan nyanyian falsnya yang berjudul “ coretan dinding”

Coretan di dinding membuat resah
Resah hati pencoret mungkin ingin tampil
Tapi lebih resah pembaca coretannya
Sebab coretan dinding, adalah pemberontakan
Kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah

Ditiap kota cakarnya siap dengan kuku2 tajam
Matanya menyala mengawasi gerak musuhnya
Musuhnya adalah penindas
yang mengganggap remeh coretan dinding kota

Coretan dinding terpojok ditempat sampah
Kucing hitam dan penindas sama-sama resah
Coretan dinding terpojok ditempat sampah
Kucing hitam dan penindas sama-sama resah

Entahlah, tapi saya tidak tahu apakah si pencoret versi inspirasi niken ini sedang mengalami keresahan atau sedang ingin eksis? Atau bisa jadi dia benar-benar resah tentang sastra—khususnya laku warga sastranya/fak.sastra, saat ini yang tak semakna dengan kalimat yang ia tulis?!!atau pikirnya manusia semakin saja tidak peduli dengan peri kemanusiaannya?? Entahlah!!!! Hanya si pencoret yang tahu.

Meski beda makna dengan nyanyian fals iwan, tapi yang jelas coretan bangkunya membuat si pembaca coretannya (niken) lebih resah, membawanya sebagai perenungan kecil paling tidak. Niken, Seperti kucing hitam yang menganggap coretan bangku itu adalah sebuah “pemberontakan/gerakan”, yang menyentil sisi kemanusian kita yang sudah keterlaluan. Ia mengingatkan kita.

Keresahan itu membawa berkah ternyata,haha...

Itu sepotong cerita tadi malam.





Selamat sekali lagi buat kalian dan bayinya;-)
28.07.11



cheers;)lagi!