Tuesday, October 25, 2011

kereta ekonomi, saya dan hujan




kereta tiba pukul brapa, kata iwan fals.

tapi bukan kereta tiba, yang saya tanya.
kreta berangkat pukul berapa, saya sedang menunggu.
hujan mengiringi sejak tadi;
Romantis sekali;) kata teman dalam smsnya.


masih hujan.
sirine kreta bunyi.
kretapun membawa saya berangkat.
dan masih romantis.


teringat kawan, dia bilang ketika dalam kereta selalu menghadirkan harapan2 besar,
namun ketika mata melihat keluar melalui jendela kereta selalu menghadirkan hal-hal yang tua, majenun, dan ketololan. begitulah si zaki.


masih dikreta. jauh dari pusat stasiun jember.
hujan sudah tak kelihatan disini.
meski mendung menggelayut minta hujan segera turun.
maka benarlah kata zaki, jika di luar kreta begitu nampak kemajenunan dan tua.


pagi yang menghadirkan harapan2
dan siang yang terkadang hadir dengan kekalahan hati,
hinggga membuat malam, pantas untuk meyerahkan semua yang telah bersikap tak adil.



malam sudah jelas-jelas menampakkan diri,
membawa seribu kebisuan dengan segala kesunyian,
ditenganh teriakanteriakan keras dalam hati para penghuninya.
itu, malam ini.

Monday, October 17, 2011

Pada ia yang Kau titipkan pada waktu (dua)




Aku hanya perempuan biasa, yang berharap waktu dan tuhan tak kan ingkar janji. Aku tahu tuhan mempercayai waktu. Aku tahu tuhan tak main-main atas sumpahnya pada waktu. Ia akan datang sesuai janji-Nya. Aku percaya waktu, tuhan dan juga ia.
Kelak ia, aku dan waktu bertemu atau dipertemukan. Terserah tuhan sajalah, enaknya bagaimana.
Atur saja.
Untuk sementara, meyakini “kebenaran” itu hari ini, cukup menguatkan buatku.




Untuk ia yang dititipkanNya, pada waktu.
Tertanda, aku.
26.08.11/15:00

Dan Berkawan Kegelisahan




Dua hari ini aku sedang membaca bukunya John Perkins yang berjudul Membongkar kejahatan jaringan internasional, kelanjutan buku pertamanya yang laris manis, tapi belum sempat aku baca. John adalah penulis best seller The Confession Economic Hit Man, pengakuan seorang bandit ekonomi dunia. Negeriku dijadikan korban pertamanya dalam aksi biadabnya. Pemimpin negeriku ia jadikan konglomerat, Bangsaku ia jadikan melarat.

Belum selesai terbaca semua memang, tapi tiba-tiba aku menyesal membaca bukunya. Aku menyesal mengetahui ini semua, meski belum semua kejahatan john yang aku ketahui. Menyesal kenapa aku baru tahu. Dan baru sadar ternyata, negeri kecintaan ini telah begitu kejam direkayasa oleh seorang atau kelompok asing tak punya hati. Ditambah lagi penyesalanku, bahwa mereka yang asing itu di dukung oleh orang-orang yang berkuasa di negeri ini. Untuk memperkaya diri. Hah!
Ekonomi negeri ini dibuat kacau balau oleh korporat-korporat yang kehilangan nurani. Negeri ini dibuat menanggung hutang luar negri yang melangit. Hutang yang entah sampai kapan akan terlunasi.

Secara imaginer, aku berkata pada John. John, kenapa kau begitu jujur mengungkap ini semua! Kau terlalu jujur john, hingga membuat aku ingin muntah!!
Namun, detik itu juga aku juga berterimakasih pada John Perkins atas kejujurannya ini. Terimakasih telah memelekkan mata dan membersihkan kotoran telingaku yang tersumbat oleh rasa ketidakingintahuan! mata dan telinga yang selama ini butatuli terhadap semesta negeriku!

John Perkins menyesali perbuatannya menjadi bandit ekonomi, kaki tangan Amerika serikat. John Perkins sedang bertaubat. Dua buku best seller itu buktinya.
Aku harus tega mendengar dan membaca cerita john ini, dan berniat akan menyelesaikan hingga halaman terakhir. Semoga saja aku kuat. Dan tak bertambah gelisah.


Pause.


Aku seorang anak laki-laki berkacamata, berseragam abu-abu yang sedang siap-siap berangkat menimbah ilmu. Aku sedang memasang kaos kaki putihku, sewaktu kakak perempuanku menggorengkan nasi sisa semalam untuk sarapan pagi ini. Bapak sedang menonton berita melalui siaran telivisi. Televisi swasta nasional yang kerjanya tak ada yang lain selain mencekoki informasi. Korupsi, koruptor, fitnah, mafia, penegak hukum yang tak berpihak pada kaum papa. Negeri ini sudah ibarat negeri amplopnya gus mus. Amplop-amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur/Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur,hal-hal yang teratur menjadi tak teratur/Memutuskan putusan yang tak putus,membatalkan putusan yang sudah putus/Amplop-amplop menguasai penguasa, dan mengendalikan orang biasa/Amplo-amplop membeberkan dan menyembunyikan/Mencairkan dan membekukan/Mengganjal dan melicinkan/Orang bicara bisa bisu/Orang mendengar bisa tuli/Orang saleh bisa nafsu/Orang sakti bisa mati/Dinegeri amplop, amplop-amplop bisa meng-amplopi siapa-apa saja/
Nonton berita, adalah kebiasaan bapak. Setelah sholat subuh, jam 5 ia sudah mulai aktivitasnya tersebut. Aku takut, bapak terpengaruhi wacana-wacana media yang mengambang. Dan terkadang tak bertanggung jawab.

Pagi ini ada tambahan pelajaran, hal biasa buat anak kelas 3 sepertiku. Aku harus berangkat lebih pagi dari biasanya. segera saja aku sarapan nasi goreng buatan kakak perempuanku. Lima menit setelah makan, beranjak dari kursi makan menuju bapak yang sedang asyik duduk berselonjor di depan televisi tak ber-remot itu. aku hendak pamit. sedikit resah tiba-tiba, takut kalau si bapak akan menggelontorkan nasehat kacau yang menjadi kebiasaannya.
Tak luput. Si bapak mulai lagi, meracau.....


Nak, dengarlah bicara bapakmu
yang kenyang akan hidup terang dan redup
Letakkan dulu buku itu

Duduk dekat bapak, sabar mendengar
Kau anak harapanku yang lahir di zaman gersang
Segala sesuatu ada harga karena uang


Aku duduk terdiam disebelah kursinya, sambil menundukkan kepala dan buku si bandit kutaruh dipangkuan. Dan bapak menambah racauannya.

Kau anak dambaanku, yang besar di kancah perang
Kau harus kuat, Yakin pasti menang

Sekolah lah, biasa saja, jangan pintar-pintar,percuma!
Latihlah bibirmu, agar pandai berkicau, sebab mereka sangat perlu kicau yang merdu
Sekolah buatmu hanya perlu untuk titel
Peduli titel dikandang atau titel mukzijat

Sekolah buatmu hanya untuk gengsi
agar mudah bergaul tentu harus banyak relasi

Jadi penjilat yang paling tepat
Karir mu cepat uangkan ku dapat


Tiba-tiba, bapak diam-tatapan kosong sambil menghentak-hentakkan kaki kanannya bersentuhan dengan lantai, naik-turun, cepat-cepat kemudian melambat.
Ah, bapak sudah semakin stres, kataku dalam hati! Ini akibat jamu pahit yang dicekokkan pada telinga dan matanya oleh mulut-mulut manis si pembaca berita itu. Semakin bertambah kencang saja debar jantungku. Tuhan, tolong aku!
Racauannya bertambah gila, seperti berteriak. Meledak hendak memakanku. Aku ketakutan.

Pilihlah jalan yang bagus tak ada paku
Sebab paku itu sadis, apalagi yang ber-karat
Jadilah kancil yang sadar akan buaya
Sebab seekor kancil sadar akan bahaya
Jadilah bandit berkedok jagoan
Agar semua sangka engkau seorang pahlawan
Jadilah bunglon jangan sapi
Sebab seekor bunglon pandai baca situasi
Jadilah karet jangan besi
Sebab bahan karet paham kondisi


Aku meliriknya diam-diam. Bapak tak menolehku sedikitpun. Matanya tertuju pada televisi. Berita isinya sampah semua! Katanya sambil menoleh sedikit ke wajahku. Aku menunduk.

Kami berdua terdiam.

Dan...
Ia mulai lagi, kali ini sedikit berbisik....

Hidup sudah susah jangan dibikin susah
Cari saja senang walau banyak utang


Bertambah pelan suaranya,

Munafik sedikit jangan terlalu jujur
Sebab orang jujur hanya akan dikemih
Pilihlah jalan yang mulus tak banyak batu
Sebab batu-batu bikin jalan mu terhambat


Bapak mengakhiri racauannya, sambil menyodorkan tangan kanannya ke mukaku, isyarat untuk menciumnya. Dan akupun berdiri serta berucap salam. Kumulai langkahku menuju ke sekolah. 30 menit kemudian, sampailah di depan gerbang sekolah. Memasuki gerbang sekolah, dan tiba-tiba pagi sesejuk ini terasa begitu berat kepalaku dan sedikit berkunang-kunang. Kelas sudah dimulai, segera masuk saja tanpa permisi. Duduk di bangku, dengan sedikit melamun. Pikiranku kemana-mana sampai jam pelajaran tambahan usai. Lamunanku tak terbuyarkan hingga sekolah usai pukul 13.30 siang. Entahlah, aku bingung.
Aku pulang dengan buku si bandit John Perkins didekapan tangan kanan. Langkah kaki menuju gerbang sekolah. Mataku masih kosong.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Kegaduhan diluar gerbang sekolah. Mataku terbelalak seketika. Seperti terjadi keroyokan. Teman-temanku tawuran dengan sekolah sebelah. Aku lari menuju tempat kejadian. Otakku kembali normal. Lamunanku tak ada.

Raut mukaku mengganas. Merah marah!

Ribut.

Ramai.

Ejek-mengejek. Mereka lempar batu.

Aku ikut tawuran.

Kupukulkan buku si bandit setebal 4 cm itu ke kepala salah satu anak sekolah sebelah yang sedang memukuli temanku.

Dan, tibatiba...
Lemparan batu mereka terkena pelipisku. Kacamataku pecah. Aku pingsan. Kepalaku melayang-layang. Wajah bapakku terlintas jelas dikepala.

Bapaaaaak....
Bisikku menggigil.







Negeri amplo puisi oleh Mustofa Bisri, masih penyair kecintaanku.
Dan lirik berjudul Nak, nyanyian fals iwan.
Untuk siapa saja, dari aku.
24.09.11





Wednesday, October 12, 2011

Pada ia yang Kau titipkan pada waktu

Aku percaya padaMu// Pada ia yang Kau titipkan pada waktu// Akupun meyakininya// Kau takkan pernah ingkar pada janji imajiner kita// Aku percaya padaMu// Pada hidup yang Kau gariskan ditanganku// Dan pada hidup yang kau guratkan pada bahunya// Ia tak kan lari dari perjodohan ini// Aku percaya padaMu// Pertemuan yang kau siapkan sejak perpisahan pertama kami// Dan pertemuan kami berikutnya yang masih kau rahasiakan// Adalah harapan nyata hidup kami, bukan utopia yang sekadarnya// Aku percaya padaMu// Sejak ruhmu kau hidupkan pada kami// Sejak itu... Hidupku berlanjut misteri // dan terus akan mempercayai // Bahwa ia benar-benar Kau titipkan pada waktu
// salam duniaku, 26.08.11

tak sesederhana itu

pagi tak pernah ingkar// siang merayap datang menepati janjinya// pada senja yang susul menyusul merambati malam// terkadang aku mengerti, kadang tidak// kenapa tuhan sering kali bersumpah demi namamu, masa. sesingkat inikah engkau.....
salam duniaku,