Wednesday, August 17, 2011

Rp.1000 Untuk Nasionalisme




Saya tak pandai berbicara tentang Nasionalisme sebetulnya. Judul itu hanya profokasi, kawan. Ups?!nggak juga sebenarnya. Jika kau tanya apa definisi tentang nasionalisme. Pasti saya hanya senyum-senyum saja. Iya, hanya senyum. Tengok kanan tengok kiri. Mencari jawaban? Ah, tentu tidak! Pertanyaan itu pasti saya biarkan liar terbang ke angkasa. Terserah angin yang mau membawa pertanyaan itu. jika sampai ke planet mars, semoga saja makhluk mars menemukan jawaban yang baik dan bijak. Haha..saya, terlalu beyond imagination! Saat ini, definisi atau sejenis puluhan untaian kata yang katanya menunjukkan makna nasionalisme itu tak penting buat saya. iya saat ini!

Maka dari itu, tentu saja saya nggak akan bicara nasionalisme dan teori-teorinya di sini dan saat ini.

Saya Cuma ingin cerita, haha;P...

Lebih gak penting sepertinya!hehee...

Ok lah, boleh gak percaya sama cerita saya! tapi bacalah untuk kali ini.

Begini...,

....sebuah bis angkutan umum melaju sepoi-sepoi seperti perahu layar sore hari. Seorang sahabat sedang berada di dalamnya. Ia sedang dalam perjalanan menuju blitar, ke rumah teman karibnya. Sepanjang perjalanan hanya diam mewakilinya. Melamun, khas anak perempuan ketika sendiri. Padahal di dalam bis begitu “ramai”. Selain penjaja makanan, penjaja korek-pisau dapur, pengamen hilir mudik, bergantian menghibur.
Perempuan itu masih melamun.

Penumpang lainnya, asyik dengan keasyikkannya sendiri. Penjaja dan pengamen yang naik turun, drastis tak memperoleh perhatian sedikitpun. Ada yang terhibur. Ada yang beli karena kasihan. Ada yang males. Ada yang ngantuk. Ada yang sumpek. Dan ada yang menggerutu, pengamen maneeh!!! ...ra mari-mari mulai mau!!

Sepi merambat.

Dan tiba-tiba lamunan perempuan itu dan penumpang lainnya terbuyarkan oleh suara seorang pengamen. Pengamen yang lainnya. Kali ini sipengamen tidak sedang menghibur dengan bernyanyi, tipikal pengamen-pengamen kebanyakan.

....

Suaranya tiba-tiba menggelegar. Memecah keheningan perempuan itu...

Mana, ada negeri sesubur negeriku.
Ia memulai performancenya.
Mana, ada negeri sesubur negeriku
Sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu dan jagung
Tapi juga pabrik, tempat rekreasi dan gedung
Perabot-perabot orang kaya di dunia, dan burung-burung indah piaran mereka,
berasal dari hutanku
Ikan-ikan pilihan yang mereka santap, bermula dari lautku
Emas dan perak, perhiasan mereka, digali dari tambangku
Air bersih yang mereka minum, bersumber dari keringatku
.....


Penumpang melongo. Seperti ada sesuatu yang menampar dalam dada-dada para penumpang. Perempuan yang melamun itu menggerakkan kepalanya ke kanan, mencari dimana posisi pengamen berada. Suara itu menghipnotisnya, agar memperhatikan si pengamen berorasi.
Pengamen melanjutkan. Kali ini begitu mendayu-dayu. Masuk kerelung hati perempuan itu.

Suaranya yang berat menambah aura magis orasinya.
Mana, ada negeri sekaya negeriku
Majikan-majikan bangsaku memiliki buruh-buruh mancanegara
Brangkas-brangkas bank ternama dimana-mana
Menyimpan harta-hartaku,
...
Negeriku menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis habis kaum melarat
Rata-rata pemimpin negeriku dan handai taulannya
Ter K-A-Y-A di dunia
....


Suara pengamen itu sungguh menyayat. Merinding menyelimuti hati para penumpangnya. Ia menyadarkan hal yang paling mendasar sebagai warga negara atas kecintaan pada negeri ini. Ia menyadarkan ke”acuh”an kita pada masalah bangsa ini.

Si pengamen belum selesai, ia meneruskan dengan intonasi yang tegas.
Mana, ada negeri semakmur negeriku
Penganggur-penganggur diberi perumahan,
Gaji dan pensiun setiap bulan
Rakyat-rakyat kecil menyumbang negara tanpa imbalan
Intonasi nya makin tegas dan galak.
RAMPOK-RAMPOK!
Diberi rekomendasi dengan kop sakti instansi
MALING-MALING! Diberi konsesi
Tikus dan kucing dengan asyik berkolusi!
.....


Ia mengakhiri orasinya.

Intermission.

Seperti pengamen-pengamen lain, setelah perform sipengamen mendekati satu persatu penumpang untuk “upah” menghiburnya hari itu. Ia mendapatkan berkah. Sebagian penumpang bis memberinya lebih dari standart pemberian seseorang kepada pengamen. Orasi si pengamen benar-benar menyadarkan.

Dan sahabat saya memasukkan uang Rp.1000 ke kantong plastik yang disodorkan si pengamen. Sepertinya ia tersentil orasinya. Orasi yang membangkitkan rasa nasionalismenya terhadap bangsa ini. Rasa yang telah lama terkubur debu berabad-abad. Namun hari itu, debu yang menutupi “rasa” itu seperti tersapu habis oleh angin segar dalam orasi si pengamen. Rasa itu menguat melebihi definisi apapun tentang nasionalisme. Rasa yang telah dihadirkan kembali oleh sebuah orasi seorang pengamen. Sebuah Orasi yang menyuruh kita untuk menengok kembali apa yang terjadi pada bangsa kecintaan kita ini.

Tengoklah!dan sisakan sedikit pedulimu!

Hah!
Haruskah kita membayar 1000 rupiah untuk membangkitkan jiwa nasionalisme kita? Seribu rupiah untuk cinta akan bangsa ini. Sebegitu hilangkah rasa nasionalisme itu didada-dada kita. Hingga harus membayar? Sepertinya memang iya!

Haruskah kita butuh seseorang yang menyadarkan kita, seperti “si pengamen” itu untuk sebuah rasa “nasionalisme” yang terpatri di dada-dada kita? Sepertinya memang iya!
Dan yang jelas, sebenarnya kita tak butuh definisi panjang tentang nasionalisme. Sepertinya memang iya!

Tidak lagi sepertinya?! memang iya!

Tak perlu berpanjang-panjang tentang hafalan nasionalisme.

Rasa.

Kita perlu merasakannya dan kemudian menyadarinya. Setelah itu bertindak, itu terserah kita! Dengan cara dan kemampuan kita.

Hah!
Entahlah!

Saya pun hanya bisa prihatin melihat ini. Lebih prihatin lagi pada diri saya, yang juga ternyata butuh “mereka” untuk menggugah kecintaan pada negeri ini. Hah! Ini adalah iman seorang yang lemah.

Kenapa saya tiba-tiba resah?

Resah melihat generasi saya, anak-anak muda hari ini, lebih memilih mengharumkan budaya bangsa lain di “rumah” sendiri. Saya resah kalau mereka (anak-anak muda hari ini) semakin menjadi peniru/penjiplak/duplicate, mengimitasi total budaya lain, dan menjadikannya tren di negeri sendiri.

Oh, pemuda!

Oh, pemudi!

Oh, boysband!oh, girlsband!

Lho koq?

Oh, koreanpop!oh,koreanpop!

Lho?Lho?!!!

Oh, mereka semakin menjadi-jadi dinegeri ini!

Saya lagi resah, tentang yang satu itu.

Untuk menjadi modern tak harus western kan? Modernisasi tak harus Westernisasi. Modernisasi Indonesia dengan cara Indonesia. Saya tahu, saya tak punya solusi riil tentang ini.

Hahaaa...(saya tertawa untk menutupi ketakmampuan ini:D)

Jangan percaya!







Cerita ini adalah pengalaman pribadi sahabat saya, mb.obib.
Saya terinspirasi dengan pengalaman “merinding” itu.
Orasi bercetak tebal itu adalah
Sebuah puisi milik M.Bisri, penyair kecintaan saya.
Untuk indonesiaku, kecintaanku.
17 Agustus, 2011.