Tuesday, March 23, 2010

Dinding ratapan,




Telinga-telinga itu sudah tak mau mendengar

Telinga-telinga itu tak lagi tuli,

Bahkan buta

Mereka hanya mau berbicara pada tembok

Bak tembok ratapan, kaum yahudi

inikah manusia modern

tak butuh lagi alat pendengaran

atau sudah tak tahu lagi fungsinya, sekedar hiasan dan pelengkap bahkan pemanis saja

dinding dinding yang tak berjantung kini jadi teman

teman tempat memasukkan recycle-recycle busuk

dinding dinding yang tak berdenyut, jadi santapan ratapan, keluhan bersolek menor…




tabik,enha.

Friday, March 19, 2010

Entah apa yang ingin Tuhan sampaikan padaku,



Entah apa yang ingin Tuhan sampaikan padaku,

Di Suatu sore, aku terdampar di kerumunan orang-orang yang sedang dalam keadaan dirundung duka. Keluarga itu kehilangan salah satu keluarga tercintanya. Aku melayat. Aku terlarut dalam persiapan pesta gelora selamatan yang akan diadakan selepas magrib ini.
Tiba-tiba teringat, aku belum menunaikan ibadah sholat ashar. Jam menunjukkan pukul 16:30 WIB. Waktu Sholat ashar sudah hampir berganti maghrib. Bergegas ku ke kamar mandi untuk berthoharoh dan wudhu. Kemudian segera menuju tempat sholat. Kulihat sepertinya antri. Maklum, rumah sedang berduka. Dimana-mana dijadikan tempat makanan untuk selamatan 7 harinya; dan tempat duduk orang melayat. Jadi tak bisa sembarang tempat digunakan untuk sholat. Akupun mengantri. Dan akhirnya giliranku. Keluarlah seorang laki-laki setengah baya dari kamar antrian itu. Laki-laki kurus itu membuka pintunya, dan menutupnya kembali; seolah-olah tak melihat aku dan beberapa perempuan dibelakangku mengantri untuk sholat.

Berkatalah aku, pak permisi mau sholat…?!ucapku minta izin. Entah apa yang diucapkannya, sepertinya dia menolak. Tak suka kami, para perempuan, menunaikan sholat di kamar itu. Memang sih, aku tak mendengar dengan jelas ucapan laki-laki itu, tapi nampak sekelebat isyarat wajahnya tak nyaman dipandang. Aku sedikit was-was. Tapi perempuan dibelakangku menyuruhku segera masuk. So, laki-laki tua itupun membuka pintunya. Dan sholatlah aku.

Entah apa yang ingin Tuhan sampaikan padaku,

Seperti sebuah isyarat. Aku di uji lagi. Satu jam kemudian. Maghrib menjelang. Dan bergegaslah aku menuju kamar (tempat sholat yang kupakai tadi), mumpung air wudhu ku belum terbatalkan, pikirku. Dan Berjalan terburu-buru, mencari celah diantara para pelayat yang sedang menata dan menyiapkan semua keperluan selamatan. Dan tiba-tiba, aku ditegur. Ditegur kawan! Kali ini lebih kuat. Tegas. Dan tak pandang bulu. Apakah aku perempuan atau laki-laki. Dia lagi, laki-laki tua yang sore tadi sudah menampakkan ketaksukaannya pada ku; karena aku sholat ditempat itu.

Dia—laki-laki itu menghentikan langkahku ke kamar sholat , padahal kurang tiga-empat langkah lagi aku sampai ketempat itu. Dan dia berkata;

….mbak maaf ya, saya ini angkuh! Katanya dengan wajah khas seperti seorang ustad yang marah terhadap santriwati bengalnya. Dan beberapa kalimat teguran lainnya, yang tak bisa kupahami—pertanda memang dia tak suka perempuan yang masuk kamar itu. Prinsip. Mungkinkah?

Lantas sholat dimana? Kalau tempat itu adalah the one and ony.

Kau tau kawan, apa yang kulakukan setelah mendengar kata itu. Dengan wajah sedikit bingung, takut, dan tak tahu harus kemana, aku tersenyum (mungkin lebih tepatnya dipaksa tersenyum;entah siapa yang memaksanya; untuk tetap menghargai beliau—laki –laki tua itu ) dan berkata dengan sedikit membalikan tubuh untuk melangkahkan kaki menjauhi laki-laki itu;…. oh ya uda pak kalau begitu, maaf, saya sholat di rumah sebelah saja. Maaf pak…., (padahal aku tak tau, apakah rumah sebelah itu bisa digunakan untuk sembayang atau tidak; bersih, suci atau najis dan kotorkah tempat itu).

Tapi tiba-tiba, laki-laki tua itu mempersilahkan saya untuk sholat di kamar itu—kamar yang baru saja aku tahu bahwa kamar itu adalah tempat dimana ia mengganti pakaiannya. Mungkin lebih tepatnya Privacy.

Aneh kan?!

Mendengar itu, batinku berkata; terlambat! Bapak sudah cukup mengiritasi hati saya. Melarang saya untuk berjumpa Robb saya di maghrib ini. sesaat setelah kejadian itu bayak pertanyaan yang bergelayut dalam pikirku; kenapa laki-laki itu melarangku sholat disana. apa salahku. Padahal aku sudah memakai penutup kepala. Aku berpakain sopan. Yah walau itu Cuma menurutku. Apakah ini karena prinsip. Prinsip yang aku tidak tahu, apa. Yang aku tahu prinsip anda, melukai ku. Tapi tak apalah, aku menghargainya.

Ya! memang dalam menjalankan perintah agama, kita harus punya prinsip dan berpegang teguh dalam menjalankannya. Tapi haruskah, prinsip yang kita pegang melukai saudara seiman kita. Bukankkah, islam adalah agama yang tanpa paksaan didalamnya. Yang kukenal islam adalah agama yang fleksibel, lunak tapi tegas. Karena kondisi dan hal-hal yang mendesak, mengharuskan kita melunakkan, memfleksibelkan prinsip yang kaku yang kita anut. Kita semua memang berbeda, tapi bukan berarti tak ada kesamaan. Jika memang ada kesamaannya, kenapa harus membeda-bedakannya.
Secara kasat mata, dalam menjalankan ritual ibadahnya seorang muslim tiada berbeda dengan muslim yang lain. Tapi aku jadi berpikir setelah kejadian ini, jangan-jangan kita sama dalam ritual ibadah, tapi Tuhan membedakkan cara kita menyapa-Nya dalam hati.

Aku jadi teringat, cerita kawan yang juga pernah mengalami hal yang sama. Ceritanya dia mau sholat juga. Terdampar disebuah masjid. Masjid yang baru pertama kali ditemuinya. Singkatnya, Masuklah dia. dan tiba-tiba dikejutkan dengan tulisan di tembok, lantai atas khusus perempuan : “KAWASAN BERJILBAB”. Diiieeenngggg! Sedikit sock kawanku ini, akhirnya dia meninggalkan masjid itu tanpa sembahyang.

Ya, dia memang tidak berjilbab. Tapi dia muslim. Muslim yang ingin menjalankan sholat. haruskah ada sekat-sekat yang mengalangi seorang hamba dalam menghadap tuhannya. Haruskah dia ketakutan dalam menjalankan agamanya. Jika dia ketakutan karena saudara seimannya. Pantaskah kita berbangga? Haruskah kita bersikap membedakannya, hanya karena kita tak sama dalam sudut pandang nya.


TIDAK kawan!


Jawaban ini pun tak mengharuskan kau setuju dengan ku,


Entah apa yang ingin Tuhan sampaikan padaku,
Mungkin ini,
Agar aku tak berhenti menyadari Ayat-Ayat-Nya.





Tabik,enha.

Wednesday, March 17, 2010

Pelukis malam,




Awan kelabu berarak menghitam
SinggasanaMu tak lagi membiru
Malamku menghitam
Bergerak menemui senjanya
Dunia serasa mengabu

sang dewi sedang mencari celah, menampakkan cahayanya. Berbagi senyum simpul denganku. Merona ku dibuatnya. Tarikan nafas panjang kuangkat kuat-kuat. Menguat sangat. Atau hanya sekedar merasa kuat. Tak apalah, Senyumku Senyummu saling berpandang. Itu yang penting. sukron katsir,,

Titik-titik hujan mengawali malam, mulai reda
Basah bumiku
Entah kenapa aku dibuat merona
Memahami-Mu melalui tanda-tanda dalam setiap penglihatanku
Tersadarku,
Engkaulah pelukis malam terindah langitku Robb…






tabik, enha.

Monday, March 15, 2010

Sendiri II,



Aku tak mau menjadi seorang penilai seseorang. Biarlah seseorang mengevaluasi dirinya sendiri. Aku tak berhak. lebih baik berintrospeksi diri, evaluasi diri kemudian mencoba menyelesaikan dengan kata maaf. Walau sebenarnya tak ada bulirbulir kesalahan. Hanya persepsi sendiri, kalau kalau diri sudah tak “ramah”. Tak “ramah” bisa diidentifikasi sedini mungkin, misalnya jika sesuatu tak seperti biasanya dan sedikit ganjil dalam penglihatan sekaligus rasa. Meski itu Cuma prasangka. Tak lebih. Evaluasi diri adalah cepat tanggap menata diri. kemudian memberanikan diri meminta maaf, jika memang ada kaitan dengan orang lain. Maaf. Itu saja yang dibutuhkan. Respon, tanda tanya. Tak perlu. Memaafkan—ya atau tidak. Itu sudah menjadi tanggung jawab orang lain. Dengan segenap kerendahan hati, sudah cukup untuk terbebaskan dari rasa salah dan mengadili diri sendiri. Butuh keikhlasan besar untuk kata maaf itu terucap.

Lantas, kau merasa hebat?

Jika Engkau menghukumku dengan cara seperti ini, segala puji bagiMU Rob. Aku banyak belajar. Seperti manusia yang selalu ingin berbuat benar, salah juga fitrahku. Aku belajar kebenaran dari setiap kesalahan-kesalahan yang tercipta dan kucipta.



Runnnnnnnnnnnnnn nurul runnnnnnnnnnnnnn…………………………………………………………………………




Tabik,enha

Thursday, March 11, 2010

Sendiri,



Aku merindukan masa kecilku, Tuhan. Di subuh yang menggigil ini. Entah kenapa kepalaku berdansa tentang masa ku masih menjadi anak-anak. Masa dimana hanya ada hitam dan putih. Tak ada warna diantaranya. Otak ini begitu jelas menggambarkan, kondisi sore dulu, hujan deras, mendung hitam yang menakutkanku, angin kencang, daun daun berakar kuat yang bergoyang karena kuatnya tiupan sang topan. Jalanan sepi,aku sendiri menyusuri jalan berkabut. Tuhan aku sendiri. Saat itu aku tak bertanya, Kenapa Kau biarkan aku sendiri. Tapi saat ini aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan itu, sekali lagi. Kenapa Tuhan?


Aku ingat Tuhan! sore yang mencekam itu.






tabik,enha.