Tuesday, October 25, 2011

kereta ekonomi, saya dan hujan




kereta tiba pukul brapa, kata iwan fals.

tapi bukan kereta tiba, yang saya tanya.
kreta berangkat pukul berapa, saya sedang menunggu.
hujan mengiringi sejak tadi;
Romantis sekali;) kata teman dalam smsnya.


masih hujan.
sirine kreta bunyi.
kretapun membawa saya berangkat.
dan masih romantis.


teringat kawan, dia bilang ketika dalam kereta selalu menghadirkan harapan2 besar,
namun ketika mata melihat keluar melalui jendela kereta selalu menghadirkan hal-hal yang tua, majenun, dan ketololan. begitulah si zaki.


masih dikreta. jauh dari pusat stasiun jember.
hujan sudah tak kelihatan disini.
meski mendung menggelayut minta hujan segera turun.
maka benarlah kata zaki, jika di luar kreta begitu nampak kemajenunan dan tua.


pagi yang menghadirkan harapan2
dan siang yang terkadang hadir dengan kekalahan hati,
hinggga membuat malam, pantas untuk meyerahkan semua yang telah bersikap tak adil.



malam sudah jelas-jelas menampakkan diri,
membawa seribu kebisuan dengan segala kesunyian,
ditenganh teriakanteriakan keras dalam hati para penghuninya.
itu, malam ini.

Monday, October 17, 2011

Pada ia yang Kau titipkan pada waktu (dua)




Aku hanya perempuan biasa, yang berharap waktu dan tuhan tak kan ingkar janji. Aku tahu tuhan mempercayai waktu. Aku tahu tuhan tak main-main atas sumpahnya pada waktu. Ia akan datang sesuai janji-Nya. Aku percaya waktu, tuhan dan juga ia.
Kelak ia, aku dan waktu bertemu atau dipertemukan. Terserah tuhan sajalah, enaknya bagaimana.
Atur saja.
Untuk sementara, meyakini “kebenaran” itu hari ini, cukup menguatkan buatku.




Untuk ia yang dititipkanNya, pada waktu.
Tertanda, aku.
26.08.11/15:00

Dan Berkawan Kegelisahan




Dua hari ini aku sedang membaca bukunya John Perkins yang berjudul Membongkar kejahatan jaringan internasional, kelanjutan buku pertamanya yang laris manis, tapi belum sempat aku baca. John adalah penulis best seller The Confession Economic Hit Man, pengakuan seorang bandit ekonomi dunia. Negeriku dijadikan korban pertamanya dalam aksi biadabnya. Pemimpin negeriku ia jadikan konglomerat, Bangsaku ia jadikan melarat.

Belum selesai terbaca semua memang, tapi tiba-tiba aku menyesal membaca bukunya. Aku menyesal mengetahui ini semua, meski belum semua kejahatan john yang aku ketahui. Menyesal kenapa aku baru tahu. Dan baru sadar ternyata, negeri kecintaan ini telah begitu kejam direkayasa oleh seorang atau kelompok asing tak punya hati. Ditambah lagi penyesalanku, bahwa mereka yang asing itu di dukung oleh orang-orang yang berkuasa di negeri ini. Untuk memperkaya diri. Hah!
Ekonomi negeri ini dibuat kacau balau oleh korporat-korporat yang kehilangan nurani. Negeri ini dibuat menanggung hutang luar negri yang melangit. Hutang yang entah sampai kapan akan terlunasi.

Secara imaginer, aku berkata pada John. John, kenapa kau begitu jujur mengungkap ini semua! Kau terlalu jujur john, hingga membuat aku ingin muntah!!
Namun, detik itu juga aku juga berterimakasih pada John Perkins atas kejujurannya ini. Terimakasih telah memelekkan mata dan membersihkan kotoran telingaku yang tersumbat oleh rasa ketidakingintahuan! mata dan telinga yang selama ini butatuli terhadap semesta negeriku!

John Perkins menyesali perbuatannya menjadi bandit ekonomi, kaki tangan Amerika serikat. John Perkins sedang bertaubat. Dua buku best seller itu buktinya.
Aku harus tega mendengar dan membaca cerita john ini, dan berniat akan menyelesaikan hingga halaman terakhir. Semoga saja aku kuat. Dan tak bertambah gelisah.


Pause.


Aku seorang anak laki-laki berkacamata, berseragam abu-abu yang sedang siap-siap berangkat menimbah ilmu. Aku sedang memasang kaos kaki putihku, sewaktu kakak perempuanku menggorengkan nasi sisa semalam untuk sarapan pagi ini. Bapak sedang menonton berita melalui siaran telivisi. Televisi swasta nasional yang kerjanya tak ada yang lain selain mencekoki informasi. Korupsi, koruptor, fitnah, mafia, penegak hukum yang tak berpihak pada kaum papa. Negeri ini sudah ibarat negeri amplopnya gus mus. Amplop-amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur/Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur,hal-hal yang teratur menjadi tak teratur/Memutuskan putusan yang tak putus,membatalkan putusan yang sudah putus/Amplop-amplop menguasai penguasa, dan mengendalikan orang biasa/Amplo-amplop membeberkan dan menyembunyikan/Mencairkan dan membekukan/Mengganjal dan melicinkan/Orang bicara bisa bisu/Orang mendengar bisa tuli/Orang saleh bisa nafsu/Orang sakti bisa mati/Dinegeri amplop, amplop-amplop bisa meng-amplopi siapa-apa saja/
Nonton berita, adalah kebiasaan bapak. Setelah sholat subuh, jam 5 ia sudah mulai aktivitasnya tersebut. Aku takut, bapak terpengaruhi wacana-wacana media yang mengambang. Dan terkadang tak bertanggung jawab.

Pagi ini ada tambahan pelajaran, hal biasa buat anak kelas 3 sepertiku. Aku harus berangkat lebih pagi dari biasanya. segera saja aku sarapan nasi goreng buatan kakak perempuanku. Lima menit setelah makan, beranjak dari kursi makan menuju bapak yang sedang asyik duduk berselonjor di depan televisi tak ber-remot itu. aku hendak pamit. sedikit resah tiba-tiba, takut kalau si bapak akan menggelontorkan nasehat kacau yang menjadi kebiasaannya.
Tak luput. Si bapak mulai lagi, meracau.....


Nak, dengarlah bicara bapakmu
yang kenyang akan hidup terang dan redup
Letakkan dulu buku itu

Duduk dekat bapak, sabar mendengar
Kau anak harapanku yang lahir di zaman gersang
Segala sesuatu ada harga karena uang


Aku duduk terdiam disebelah kursinya, sambil menundukkan kepala dan buku si bandit kutaruh dipangkuan. Dan bapak menambah racauannya.

Kau anak dambaanku, yang besar di kancah perang
Kau harus kuat, Yakin pasti menang

Sekolah lah, biasa saja, jangan pintar-pintar,percuma!
Latihlah bibirmu, agar pandai berkicau, sebab mereka sangat perlu kicau yang merdu
Sekolah buatmu hanya perlu untuk titel
Peduli titel dikandang atau titel mukzijat

Sekolah buatmu hanya untuk gengsi
agar mudah bergaul tentu harus banyak relasi

Jadi penjilat yang paling tepat
Karir mu cepat uangkan ku dapat


Tiba-tiba, bapak diam-tatapan kosong sambil menghentak-hentakkan kaki kanannya bersentuhan dengan lantai, naik-turun, cepat-cepat kemudian melambat.
Ah, bapak sudah semakin stres, kataku dalam hati! Ini akibat jamu pahit yang dicekokkan pada telinga dan matanya oleh mulut-mulut manis si pembaca berita itu. Semakin bertambah kencang saja debar jantungku. Tuhan, tolong aku!
Racauannya bertambah gila, seperti berteriak. Meledak hendak memakanku. Aku ketakutan.

Pilihlah jalan yang bagus tak ada paku
Sebab paku itu sadis, apalagi yang ber-karat
Jadilah kancil yang sadar akan buaya
Sebab seekor kancil sadar akan bahaya
Jadilah bandit berkedok jagoan
Agar semua sangka engkau seorang pahlawan
Jadilah bunglon jangan sapi
Sebab seekor bunglon pandai baca situasi
Jadilah karet jangan besi
Sebab bahan karet paham kondisi


Aku meliriknya diam-diam. Bapak tak menolehku sedikitpun. Matanya tertuju pada televisi. Berita isinya sampah semua! Katanya sambil menoleh sedikit ke wajahku. Aku menunduk.

Kami berdua terdiam.

Dan...
Ia mulai lagi, kali ini sedikit berbisik....

Hidup sudah susah jangan dibikin susah
Cari saja senang walau banyak utang


Bertambah pelan suaranya,

Munafik sedikit jangan terlalu jujur
Sebab orang jujur hanya akan dikemih
Pilihlah jalan yang mulus tak banyak batu
Sebab batu-batu bikin jalan mu terhambat


Bapak mengakhiri racauannya, sambil menyodorkan tangan kanannya ke mukaku, isyarat untuk menciumnya. Dan akupun berdiri serta berucap salam. Kumulai langkahku menuju ke sekolah. 30 menit kemudian, sampailah di depan gerbang sekolah. Memasuki gerbang sekolah, dan tiba-tiba pagi sesejuk ini terasa begitu berat kepalaku dan sedikit berkunang-kunang. Kelas sudah dimulai, segera masuk saja tanpa permisi. Duduk di bangku, dengan sedikit melamun. Pikiranku kemana-mana sampai jam pelajaran tambahan usai. Lamunanku tak terbuyarkan hingga sekolah usai pukul 13.30 siang. Entahlah, aku bingung.
Aku pulang dengan buku si bandit John Perkins didekapan tangan kanan. Langkah kaki menuju gerbang sekolah. Mataku masih kosong.
Tiba-tiba terdengar suara teriakan. Kegaduhan diluar gerbang sekolah. Mataku terbelalak seketika. Seperti terjadi keroyokan. Teman-temanku tawuran dengan sekolah sebelah. Aku lari menuju tempat kejadian. Otakku kembali normal. Lamunanku tak ada.

Raut mukaku mengganas. Merah marah!

Ribut.

Ramai.

Ejek-mengejek. Mereka lempar batu.

Aku ikut tawuran.

Kupukulkan buku si bandit setebal 4 cm itu ke kepala salah satu anak sekolah sebelah yang sedang memukuli temanku.

Dan, tibatiba...
Lemparan batu mereka terkena pelipisku. Kacamataku pecah. Aku pingsan. Kepalaku melayang-layang. Wajah bapakku terlintas jelas dikepala.

Bapaaaaak....
Bisikku menggigil.







Negeri amplo puisi oleh Mustofa Bisri, masih penyair kecintaanku.
Dan lirik berjudul Nak, nyanyian fals iwan.
Untuk siapa saja, dari aku.
24.09.11





Wednesday, October 12, 2011

Pada ia yang Kau titipkan pada waktu

Aku percaya padaMu// Pada ia yang Kau titipkan pada waktu// Akupun meyakininya// Kau takkan pernah ingkar pada janji imajiner kita// Aku percaya padaMu// Pada hidup yang Kau gariskan ditanganku// Dan pada hidup yang kau guratkan pada bahunya// Ia tak kan lari dari perjodohan ini// Aku percaya padaMu// Pertemuan yang kau siapkan sejak perpisahan pertama kami// Dan pertemuan kami berikutnya yang masih kau rahasiakan// Adalah harapan nyata hidup kami, bukan utopia yang sekadarnya// Aku percaya padaMu// Sejak ruhmu kau hidupkan pada kami// Sejak itu... Hidupku berlanjut misteri // dan terus akan mempercayai // Bahwa ia benar-benar Kau titipkan pada waktu
// salam duniaku, 26.08.11

tak sesederhana itu

pagi tak pernah ingkar// siang merayap datang menepati janjinya// pada senja yang susul menyusul merambati malam// terkadang aku mengerti, kadang tidak// kenapa tuhan sering kali bersumpah demi namamu, masa. sesingkat inikah engkau.....
salam duniaku,

Thursday, August 18, 2011

Si Tua, Si Tuli Dan Sepeda Kumbang




Gadis kecil berseragam merah putih sedang menggigit-gigit jari manisnya. Terlihat seperti kebingungan. Cemas, lebih tepatnya. Matanya bergerak-gerak cepat kekanan-kikiri. Kepalanya yang kecil mengikuti gerak tubuhnya yang lincah mencari sesosok tua dan beruban. Sudah lima belas menit waktu berlalu dari pukul 12.15, si tua belum kelihatan juga. Gadis kecil terlambat. Jantungnya berdetak hebat. Takut terlambat sekolah.

Jam satu siang masih 30 menit lagi.

Namun, sekolah begitu jauh untuk ditempuh 30 menit dengan sepeda butut. Gadis kecil tambah resah. Dalam hati ia berkata, kek..!cepatlah datang, aku butuh bantuanmu!!!
Dari kejauhan, bayangan laki-laki kurus dengan sepeda tua yang telah menemani kaki-kaki tuanya menempuh sebuah perjalanan, muncul tiba-tiba.

Gadis kelas tiga itu, akhirnya melengkungkan bibir tipisnya. Si tua dan sepeda kumbang tuanya mendengar harapannya.

Cepat kek, aku terlambat! Kata si gadis berbisik.


Sunyi.

Ia, si tua beruban itu, hanya diam saja.

Si gadis berseragam merahputih itu kemudian menaiki boncengan sepeda kumbangnya dan duduk sambil tangan kecilnya memegangi lapak yang hampir lepas kulit penutupnya. Sangat erat.

Sepeda kumbang melaju perlahan.
Jalan setapak pinggir kali menjadi pilihan sepedanya mengantar gadis kecil yang ia sebut, cucu.

Gemericik air kali, memecah kesunyian diantara perjalanan dua insan tua dan sangat muda ini. Dinginnya air kali, mengurangi rasa panas dari terik matahari di kepala kami. Meski, panas masih sangat terasa di bun-ubun. Tak luput membuat rambut si gadis bertambah merah. Nampak sekali si gadis kampung, kurang vitamin. Panas sudah menjadi kawan karibnya.

Kami masih terdiam.

Gadis kecil masih duduk tenang dan masih berharap semoga ia tak terlambat. Si tua pun masih mengayuh sepedanya. Pelan.

Tenang tanpa kata.

Mata si gadis berbinar-binar, dari kejauhan rel-rel kereta nampak dipeluk mata. Pertanda gedung sekolah hampir di depan mata.

Akhirnya, si tua pun memberhentikan sepedanya dan turun. Menoleh kebelakang, sambil tangan kirinya tetap memegang stir sepedanya, si tua melihatnya turun dari boncengannya. Si gadis kecil mengambil tangan kanan si tua, lalu diciumnya.

Aku sekolah dulu ya kek! Assalamualaikum...., katanya pamit.

Wa’alaikumussalam, jawabnya.

Mata si tua masih mengikuti langkah kaki-kaki si gadis menyusuri rel-rel kereta yang harus dilalui untuk menuju gedung sekolah yang sebenarnya. Enam hingga tujuh jalur kereta api yang harus ia tempuh. Loncat sana-loncat sini. Berburu waktu. Sekolahnya berada di balik rel-rel mati itu.

Si gadis berseragam merahputih ahirnya berhasil melewati 7 jalur rel mati itu. Ia, si tua beruban itu masih disana—ditempat dimana si gadis kecil mencium tangan keriputnya. Gadis kecil melanjutkan perjalanannya yang tinggal beberapa meter lagi. Sepertinya mata si tua sudah tak melihat bayangan si gadis. Tiba-tiba terpikir oleh si gadis kecil, mempercepat langkah kaki mencari semak. Dan sekilas petir, ia melesat, bersembunyi.

Gadis kecil ingin melihatnya, pulang.

Si tua memutar sepeda kumbangnya. Dan punggung itu, yang telah melengkung 25 derajat pun menjauh bersama bayangan hitamnya.

Gadis kecil terdiam.

Dan terdengarlah suara bel sekolah, tepat bersamaan dengan kaki kirinya melewati gerbang sekolah.

intermission.

Suatu hari yang lain, masih dengan seragam merahputihnya. Gadis kecil itu lagi-lagi sedang cemas. Seperti biasa, masalah telat ke sekolah. Siang itu si gadis berseragam merahputih itu, menunggu seseorang yang akan mengantarnya ke sekolah. Kali ini, bukan situa yang ia tunggu. Si yang lain, yang ia tunggu. Si itu adalah pak de kesayangannya, yang tak kunjung datang. Ia memanggilnya, wak. Kurang 20 menit lagi jam masuk sekolah.

wak pun datang tiba-tiba.

Aih, kemana saja wak ini!! Sambil menunjuk jam tangan yang sebenarnya tak ada, dengan berkomat kamit kata “telat, ayo cepet” tanpa bersuara! Gadis kecil menggerutu.

Seperti si tua, iapun tak menjawab apa-apa.

Langsung saja, si gadis naik dan berbonceng di sepeda kumbang milik si tua. Ia mengayuh kecang sepedanya. Seperti biasa, kami melewati jalan setapak pinggir kali.

Asyiiiik!kata si gadis memecah sunyi.

Lumayan meski panas, tapi karena wak mengayuh sepedanya agak kencang membuat semilir angin segar merambati seragam putihnya melewati ketiak kanan-kirinya. Si gadis senang bukan kepalang.

Kali telah mereka lewati. Tak ada lagi suara gemericik yang menyejukkan itu. Kini yang terdengar hanya suara gesekan sayap ban belakang sepeda kumbangyang nyaris saling menempel. Tepat dibawah boncengan yang diduduki si gadis.

Srek..srek..sreeekk...

Srek..srek..

Srek..

Si gadis mencari bunyi itu berasal. Tengok kanan-kiri sebelah kaki-kakinya.

Srekk..
Srek..sreek.srekkk...srekk...

Roda masih terus berputar. Meski semakin berat kayuhnya. Si gadis berseragam merahputih merasakannya. waknya dengan sekuat tenaga, mempercepat kayuhnya. Dan...

Srekk..srek...srekkk,

Masih sering kali terdengar mengiringi kesunyian perjalanan mereka melewati perkebunan warisan milik salah satu warga dekat rumah mereka.

Tiba-tiba sampailah di perbatasan rel-rel mati.
Si gadis kecil pun turun.

Dan seperti biasa, ia ambil tangan kanan waknya, diciumnya seperti mencium tangan situa—kakeknya. Sambil berkata “ aku berangkat dulu ya! ” tanpa suara dengan mulut seperti orang kehabisan suara karena menyanyi atau banyak teriak atau bahkan seperti seorang tuna wicara.

Ia hanya menganggukkan kepalanya, mengijinkan gadis kecil pergi ke sekolah.
Matanya mengikuti langkah si gadis kecil di rel mati. Kosong.

Namun sebelum selesai melewati jalur rel mati itu, gadis kecil melihatnya sedang memutar sepedanya.

Dan pulang.

Ia waknya, si tuli—pak de kesayangannya. Anak pertama si tua.
Memunggungi si gadis.

Matanya berkaca.

Dan ia, si gadis berseragam merah-putih ini masih belum bisa membacanya. Lagi-lagi hanya bisa terdiam.



Ziarah ingatan. Begitu fahd djibran, penulis muda favoritku, mengistilahkannya. Akupun menyukai istilah ini. Kata ziarah biasanya kita gunakan untuk hal yang berkaitan dengan orang yang meninggal, kuburan dan sebagainya. Berziarah adalah mengunjungi kembali, mengenang, mendoakan mereka yang sudah tiada. Ziarah ingatan berarti mengenang kembali, bersilaturahmi lagi dengan kenangan yang tertinggal. Kata fahd, ziarah bukan saja mengenang bagi mereka yang sudah tiada. Kadang-kadang yang paling sering kita lupakan justru kenangan-kenangan indah bersama mereka yang masih hidup. Katanya lagi, kita bisa membuang ingatan, tapi kita tak bisa menolak kenangan. Sebab tak semua yang kita ingat akan kita kenang, tetapi semua yang kita kenang tersimpan baik dalam ingatan.

Si gadis berseragam merahputih kelas tiga itu, yang berambut merah karena sengatan matahari, yang selalu cemas akan keterlambatannya ke sekolah, yang selalu menunggu dua orang tua itu adalah aku, si empunya cerita original ini.

Kisah yang kuceritakan ini adalah bentuk ziarah ingatanku kepada dua laki-laki itu—lelaki yang juga aku cintai, selain ayah. Kalian berdua adalah darah daging ibuku. Bersama ibuku, kalian adalah ladang amal bagiku. Kenangan bersama kalian dan sepeda kumbang itu, takkan ku eliminasi dari sudut pikirku. Apapun yang terjadi selama bermetamorfosanya gadis berseragam merahputih itu hingga kini, baik-buruknya kalian berdua, tak jadi soal. Kalian tetap kuanggap laki-laki baik yang kukenal sejak kecil. Laki-laki baik . Tak lebih dan tak kurang. Kalian, Laki-laki yang juga masuk nominasi akan ku cintai sampai akhir hayat. ;-)

Sepeda kumbang yang baik hati. Terima kasih telah menyelamatkan ku dari terlambat kesekolah. Terimakasih juga telah menemani dua laki-laki itu mencari sesuatu untuk mengisi perut-perut mereka. Sesuatu untuk keluarganya dan sesuatu untuk yang mereka pelihara lainnya, kambing-kambing dan sapi milik orang. Terimakasih telah membuat mereka hidup sederhana, sesederhana dirimu. Tapi yang jelas, kau tak membuat hidup mereka sesederhana itu dimataku. Kau dan kedua laki-laki itu begitu kaya di hatiku.

Begitulah...










Dedikasikan untuk wak idris dan anang saleh, dua insan anak-beranak.
Kisahmu belum tuntas kuceritakan. Ini hanya sekelumit ziarah ingatanku malam ini.





cheers;-)

Wednesday, August 17, 2011

Rp.1000 Untuk Nasionalisme




Saya tak pandai berbicara tentang Nasionalisme sebetulnya. Judul itu hanya profokasi, kawan. Ups?!nggak juga sebenarnya. Jika kau tanya apa definisi tentang nasionalisme. Pasti saya hanya senyum-senyum saja. Iya, hanya senyum. Tengok kanan tengok kiri. Mencari jawaban? Ah, tentu tidak! Pertanyaan itu pasti saya biarkan liar terbang ke angkasa. Terserah angin yang mau membawa pertanyaan itu. jika sampai ke planet mars, semoga saja makhluk mars menemukan jawaban yang baik dan bijak. Haha..saya, terlalu beyond imagination! Saat ini, definisi atau sejenis puluhan untaian kata yang katanya menunjukkan makna nasionalisme itu tak penting buat saya. iya saat ini!

Maka dari itu, tentu saja saya nggak akan bicara nasionalisme dan teori-teorinya di sini dan saat ini.

Saya Cuma ingin cerita, haha;P...

Lebih gak penting sepertinya!hehee...

Ok lah, boleh gak percaya sama cerita saya! tapi bacalah untuk kali ini.

Begini...,

....sebuah bis angkutan umum melaju sepoi-sepoi seperti perahu layar sore hari. Seorang sahabat sedang berada di dalamnya. Ia sedang dalam perjalanan menuju blitar, ke rumah teman karibnya. Sepanjang perjalanan hanya diam mewakilinya. Melamun, khas anak perempuan ketika sendiri. Padahal di dalam bis begitu “ramai”. Selain penjaja makanan, penjaja korek-pisau dapur, pengamen hilir mudik, bergantian menghibur.
Perempuan itu masih melamun.

Penumpang lainnya, asyik dengan keasyikkannya sendiri. Penjaja dan pengamen yang naik turun, drastis tak memperoleh perhatian sedikitpun. Ada yang terhibur. Ada yang beli karena kasihan. Ada yang males. Ada yang ngantuk. Ada yang sumpek. Dan ada yang menggerutu, pengamen maneeh!!! ...ra mari-mari mulai mau!!

Sepi merambat.

Dan tiba-tiba lamunan perempuan itu dan penumpang lainnya terbuyarkan oleh suara seorang pengamen. Pengamen yang lainnya. Kali ini sipengamen tidak sedang menghibur dengan bernyanyi, tipikal pengamen-pengamen kebanyakan.

....

Suaranya tiba-tiba menggelegar. Memecah keheningan perempuan itu...

Mana, ada negeri sesubur negeriku.
Ia memulai performancenya.
Mana, ada negeri sesubur negeriku
Sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu dan jagung
Tapi juga pabrik, tempat rekreasi dan gedung
Perabot-perabot orang kaya di dunia, dan burung-burung indah piaran mereka,
berasal dari hutanku
Ikan-ikan pilihan yang mereka santap, bermula dari lautku
Emas dan perak, perhiasan mereka, digali dari tambangku
Air bersih yang mereka minum, bersumber dari keringatku
.....


Penumpang melongo. Seperti ada sesuatu yang menampar dalam dada-dada para penumpang. Perempuan yang melamun itu menggerakkan kepalanya ke kanan, mencari dimana posisi pengamen berada. Suara itu menghipnotisnya, agar memperhatikan si pengamen berorasi.
Pengamen melanjutkan. Kali ini begitu mendayu-dayu. Masuk kerelung hati perempuan itu.

Suaranya yang berat menambah aura magis orasinya.
Mana, ada negeri sekaya negeriku
Majikan-majikan bangsaku memiliki buruh-buruh mancanegara
Brangkas-brangkas bank ternama dimana-mana
Menyimpan harta-hartaku,
...
Negeriku menumbuhkan konglomerat
Dan mengikis habis kaum melarat
Rata-rata pemimpin negeriku dan handai taulannya
Ter K-A-Y-A di dunia
....


Suara pengamen itu sungguh menyayat. Merinding menyelimuti hati para penumpangnya. Ia menyadarkan hal yang paling mendasar sebagai warga negara atas kecintaan pada negeri ini. Ia menyadarkan ke”acuh”an kita pada masalah bangsa ini.

Si pengamen belum selesai, ia meneruskan dengan intonasi yang tegas.
Mana, ada negeri semakmur negeriku
Penganggur-penganggur diberi perumahan,
Gaji dan pensiun setiap bulan
Rakyat-rakyat kecil menyumbang negara tanpa imbalan
Intonasi nya makin tegas dan galak.
RAMPOK-RAMPOK!
Diberi rekomendasi dengan kop sakti instansi
MALING-MALING! Diberi konsesi
Tikus dan kucing dengan asyik berkolusi!
.....


Ia mengakhiri orasinya.

Intermission.

Seperti pengamen-pengamen lain, setelah perform sipengamen mendekati satu persatu penumpang untuk “upah” menghiburnya hari itu. Ia mendapatkan berkah. Sebagian penumpang bis memberinya lebih dari standart pemberian seseorang kepada pengamen. Orasi si pengamen benar-benar menyadarkan.

Dan sahabat saya memasukkan uang Rp.1000 ke kantong plastik yang disodorkan si pengamen. Sepertinya ia tersentil orasinya. Orasi yang membangkitkan rasa nasionalismenya terhadap bangsa ini. Rasa yang telah lama terkubur debu berabad-abad. Namun hari itu, debu yang menutupi “rasa” itu seperti tersapu habis oleh angin segar dalam orasi si pengamen. Rasa itu menguat melebihi definisi apapun tentang nasionalisme. Rasa yang telah dihadirkan kembali oleh sebuah orasi seorang pengamen. Sebuah Orasi yang menyuruh kita untuk menengok kembali apa yang terjadi pada bangsa kecintaan kita ini.

Tengoklah!dan sisakan sedikit pedulimu!

Hah!
Haruskah kita membayar 1000 rupiah untuk membangkitkan jiwa nasionalisme kita? Seribu rupiah untuk cinta akan bangsa ini. Sebegitu hilangkah rasa nasionalisme itu didada-dada kita. Hingga harus membayar? Sepertinya memang iya!

Haruskah kita butuh seseorang yang menyadarkan kita, seperti “si pengamen” itu untuk sebuah rasa “nasionalisme” yang terpatri di dada-dada kita? Sepertinya memang iya!
Dan yang jelas, sebenarnya kita tak butuh definisi panjang tentang nasionalisme. Sepertinya memang iya!

Tidak lagi sepertinya?! memang iya!

Tak perlu berpanjang-panjang tentang hafalan nasionalisme.

Rasa.

Kita perlu merasakannya dan kemudian menyadarinya. Setelah itu bertindak, itu terserah kita! Dengan cara dan kemampuan kita.

Hah!
Entahlah!

Saya pun hanya bisa prihatin melihat ini. Lebih prihatin lagi pada diri saya, yang juga ternyata butuh “mereka” untuk menggugah kecintaan pada negeri ini. Hah! Ini adalah iman seorang yang lemah.

Kenapa saya tiba-tiba resah?

Resah melihat generasi saya, anak-anak muda hari ini, lebih memilih mengharumkan budaya bangsa lain di “rumah” sendiri. Saya resah kalau mereka (anak-anak muda hari ini) semakin menjadi peniru/penjiplak/duplicate, mengimitasi total budaya lain, dan menjadikannya tren di negeri sendiri.

Oh, pemuda!

Oh, pemudi!

Oh, boysband!oh, girlsband!

Lho koq?

Oh, koreanpop!oh,koreanpop!

Lho?Lho?!!!

Oh, mereka semakin menjadi-jadi dinegeri ini!

Saya lagi resah, tentang yang satu itu.

Untuk menjadi modern tak harus western kan? Modernisasi tak harus Westernisasi. Modernisasi Indonesia dengan cara Indonesia. Saya tahu, saya tak punya solusi riil tentang ini.

Hahaaa...(saya tertawa untk menutupi ketakmampuan ini:D)

Jangan percaya!







Cerita ini adalah pengalaman pribadi sahabat saya, mb.obib.
Saya terinspirasi dengan pengalaman “merinding” itu.
Orasi bercetak tebal itu adalah
Sebuah puisi milik M.Bisri, penyair kecintaan saya.
Untuk indonesiaku, kecintaanku.
17 Agustus, 2011.





Wednesday, August 10, 2011

Sepotong cerita tadi malam




Wajahnya mengisyaratkan kebebasan. Tapi tetap dengan kantung mata yang sedikit membesar, seperti belum sepenuhnya bebas. Pucat, tapi tak sakit sebenarnya. Ia tak ambil pusing dengan penampilannya tadi malam. Seperti biasa, tanpa make up. Berkaos hitam, berbalut jeans buluk. Dan entah sudah berapa hari tak dicucinya. Saya menyebutnya “preman kampus”. Hahahaa....(bercanda;-)

Nduk, saya menyebut si preman kampus itu, alias niken dalam kesehariannya.
Malam itu, ia dan kawan-kawan punya gawe besar. Merayakan sebuah kelahiran. Kelahiran bayi yang sudah 5 tahun dalam kandungan. Malam itu pecahlah sudah.

1800 detik jauh sebelum itu.

Lewat sebuah pesan singkat, ia memberitahukan sesuatu tentang kelahiran itu.
Memutar memori:cover2sas dan ideas
yang smpat terdokumentasi brderet
mwarnai dinding ruang tamu ideas.
Hari ini, brtambah lgi
satu wajah sampul ideas.
Kamipun ingin memutar memori,
brtemu dg wajah2 yang smpat
kami kenal jauh sblum itu.

Launching Tabloid
Mahasiswa IDEAS,
Edisi XIII,thn
2011. “Kriminal Bukan Sampah”
Aula fak.Sastra. Jam 18.00
Pemateri:-erdi setiaji, dosen psiko unmuh
-wachid sugiono, kpla kplp lapas kls IIa jbr

Matur tenkyu, terima kasih atas dukunganx.
(ini und bkn curhat;)-)

Detik itu juga, hati saya seperti tersiram air hujan. Terharu. Menyejukkan skaligus merinding bacanya. Kalimat-kalimat itu khas sekali, anak ideas. Kangen. Sayapun membalas,
Turut berduka, eh bersuka. Sudah lama sekali
Tak menerima good news sperti ini. Selamat atas
Kelahiran bayi kalian;-). Thn dpn pux baby lagi ya,hehee..

Ah, ahirnya kalian menerbitkannya.
You are still alive.

27 juli 20011. 19.00 Wib.
Saya membaca Salam Redaksi yang tertulis di tabloid edisi ini, sesaat setelah mengisi daftar undangan di dpn pintu aula.
Saya kutip beberapa paragrap.

Hard to say i’m sorry...
Januari 2010. Sedikit bocoran, kawan, itulah untuk pertama kalinya setelah menghabiskan waktu dan tenaga untuk reformasi kepengurusan, sisa-sisa awak kapal ideas berkumpul dan membincangkan Tabloid Ideas edisi XVIII. Kami menyebutnya rared, rapat redaksi, yang pertama. Kemudian 18 bulan setelahnya tabloid yang kami bincangkan saat itu, sebendel kertas yang terlalu lama hidup dalam ide kami itu (pada akhirnya...) sampai juga di hadapan anda. Maka sekarang, silakan!mungkin anda ingin tertawa atau bahkan mengumpat. Kami sudah tertawa dan mengumpat sebelum anda. Meski kami sendiri tak yakin akan makna tawa itu.

Atau mungkin ada yang berbaik hati menyimpan rasa simpatik, sambil garuk-garuk kepala bertanya keheranan: apa saja sih yang kami perbuat selama itu?
Tapi sepertinya kami tak akan membahas itu disini.
Tak ada pembelaan, penyangkalan atau apologi dari kami atas keterlambatan terbitnya tabloid ideas selama lebih dari satu periode kepengurusan, ditambah dengan 5 tahun kekosongan terhitung sejak Desember 2007, tahun dimana ideas masih sempat menerbitkan tabloid edisi ke XVIII.

Bukan karena kami merasa benar dan menganggap keterlambatan itu wajar, tapi tidakkah kita bosan dengan keterlambatan yang terus berulang dan (oleh karena itu) apologi pun melulu diucapkan, seakan semua tuntas hanya dengan satu kata maaf. Maka sudah ya, biarkan dia menjadi topik kita di warung-warung kopi saja, mungkin sambil mendengarkan musik dari Chicago.
...
Saya dan mb.shobib pun ikutan ngakak, tapi tak berani mengumpat!takut;-P


Musik akustik “rumah perempuan” terdengar , tepat saat saya dan kawan2 yang lain sudah memasuki aula. beberapa menit kemudian acara memasuki diskusi inti, Laput ideas 2011 yang menjadi headline besar. Seperti yang ia tulis dalam undangan smsnya, Launching Tabloid Mahasiswa IDEAS, Edisi XIII,thn 2011. “Kriminal Bukan Sampah”.

Kriminal Bukan Sampah, headline dalam cover tabloid edisi thn ini. Ketika disinggung oleh salah satu penanya, kenapa kalian (pers sastra) mengangkat tema ini sebagai laput. Bukankah ini adalah lahan dari anak pers hukum atau fisip paling tidak. Karena headline ini pasti akan berjibaku dengan hukum-hukum, aturan2, undang-undang yang tidak sama sekali ada hubungannya dengan sastra. Menurut si penanya, sastra itu mengkaji puisi, karya sastra atau yang berkaitan dengannya.

Pikir saya waktu itu, ah maklum saja si penanya bukan anak sastra. Kalau ia menganggap tema itu bukan ruang lingkup sastra. Wajar saja.

Tapi saya senang ia bertanya demikian. Karena akan memaksa niken dkk, untuk bercerita behind the story nya.

Sederhana sekali, jawaban niken. “ ide ini berawal dari sebuah tulisan “coretan bangku”, yang mana kita ketahui, bangku-bangku kuliah(kursi-kursi) di sastra masih menggunakan bangku kayu. sewaktu saya kuliah, tak sengaja membaca tulisan dalam bangku: “ Sastra: Memanusiakan Manusia”. Jadi kami ingin mengangkat sisi humanisme nya, bahwa kriminal bukan sampah masyarakat, tapi mereka justru bagian dari masyarakat itu sendiri.

Niken, wajahnya sumringah. Entah apa yang ia rasa malam itu.

Sepertinya ia harus berterima kasih kepada penulis coretan di bangku itu. Kalimat yang tidak asing bagi anak2 sastra sebenarnya. tapi bisa menjadi Inspirasi. Coretan bangku?!! “Semua” berasal dari coretan itu. Yah, walaupun tidak semua, paling gak secuil kalimat itu jadi sebuah gerakan atau harapan dalam penyelesaian ideas.

Saya teringat iwan fals dengan nyanyian falsnya yang berjudul “ coretan dinding”

Coretan di dinding membuat resah
Resah hati pencoret mungkin ingin tampil
Tapi lebih resah pembaca coretannya
Sebab coretan dinding, adalah pemberontakan
Kucing hitam yang terpojok di tiap tempat sampah

Ditiap kota cakarnya siap dengan kuku2 tajam
Matanya menyala mengawasi gerak musuhnya
Musuhnya adalah penindas
yang mengganggap remeh coretan dinding kota

Coretan dinding terpojok ditempat sampah
Kucing hitam dan penindas sama-sama resah
Coretan dinding terpojok ditempat sampah
Kucing hitam dan penindas sama-sama resah

Entahlah, tapi saya tidak tahu apakah si pencoret versi inspirasi niken ini sedang mengalami keresahan atau sedang ingin eksis? Atau bisa jadi dia benar-benar resah tentang sastra—khususnya laku warga sastranya/fak.sastra, saat ini yang tak semakna dengan kalimat yang ia tulis?!!atau pikirnya manusia semakin saja tidak peduli dengan peri kemanusiaannya?? Entahlah!!!! Hanya si pencoret yang tahu.

Meski beda makna dengan nyanyian fals iwan, tapi yang jelas coretan bangkunya membuat si pembaca coretannya (niken) lebih resah, membawanya sebagai perenungan kecil paling tidak. Niken, Seperti kucing hitam yang menganggap coretan bangku itu adalah sebuah “pemberontakan/gerakan”, yang menyentil sisi kemanusian kita yang sudah keterlaluan. Ia mengingatkan kita.

Keresahan itu membawa berkah ternyata,haha...

Itu sepotong cerita tadi malam.





Selamat sekali lagi buat kalian dan bayinya;-)
28.07.11



cheers;)lagi!

Monday, April 25, 2011

the end of story, NEKAD




Mobil iring-iringan terus melaju.
Yang tidak saya sangka adalah, saya dan niken ikut andil dalam penyerahan ketum kepihak keluarga suami. Saya tak hanya sekedar numpang pulang dengan mobil iring-iringan tersebut. Namun Kami juga menjadi saksi hidup prosesi sekhidmat itu.
Ah, tuhan. Ada saja caraMu mengajarkan hambanya dalam membaca sesuatu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 5-6jam, Dan tibalah kami disebuah rumah, dimana mas asfin, suami ketum, tinggal.
Dari dalam mobil, kira-kira berjarak satu-dua meter dari depan rumah ms.asfin, saya melihat janur kuning melengkung.
Dua Lengkungan janur kuning membentuk huruf U terbalik diletakkan tepat dipintu tenda, yang dibuat oleh tuan rumah untuk menyambut sepasang pengantin dan rombongannya.

Tiba-tiba, saya nyeletuk,” lho tum katanya gak ada acara”. Dan ketum menjawab, surprise!

Sepertinya ketum tampak lebih surprise ketimbang saya.
Jangan membayangkan penyambutan besar-besaran seperti pada umumnya. Dirumah ini juga sederhana. Namun tak kehilangan sakralnya.

Dan kamipun, rombongan, turun dengan membawa seserahan dari pihak perempuan. Kemudian diikuti ketum dan sang suami.

Limabelas menit kemudian, dimulailah prosesi penyerahan ketum kepihak keluarga laki-laki.

Prosesi berjalan khidmat.

Selesai.

Ketum pun ditinggal rombongan.

Dan saya juga niken, tak ketinggalan saddam berada dalam perjalanan berikutnya. Bis melaju kencang meninggalkan semua yang tertinggal dikencong.
Dalam bis, saya memutar lagu wild world nya Mr.Big dan saya ikut bernyanyi…

Now that I've lost everything to you. You say you want to start something new.
And it's breaking my heart you're leaving. Baby I'm grieving.

And if you wanna leave take good care. Hope you have a lot of nice things to wear. A lot of nice things turn bad out there. Oh baby, baby, it's a wild world. It's hard to get by just upon a smile. oh baby, it's a wild world. I'll always remember you like a child girl.


Kebisingan menyeruak dari dalam knalpot bis,

Membawa kami Pulang dalam diam.

Sambil membungkus rapi sebuah cerita.

Cerita, yang akan saya kisahkan, pada siapapun.
….

….

Dan saya akan terus berimaji, sampai ayah saya menyanyikan lagu ini buat saya,

You know I've seen a lot of. What the world can do
And it's breaking my heart in two. Coz I never want to see you sad girl
Don't be a bad girl.

But if you wanna leave take good care. Hope you make a lot of nice friends out there. Just remember there's A lot of bad and beware.
baby I love you.

***


Perjalanan yang melelahkan.
Bagi ketum, “perjalanan” nekadnya benar-benar melelahkan. Langkah berani yang sudah kau ambil akan kami tiru, tapi entah kapan?!!!;-)
Bagi kami bertiga, nanox, niken dan nurong, perjalanan nekad 2 hari itu memang melelahkan tapi tak membosankan.

What and where is the next journey girls?!!!!!

See ya!

Heheee….

lanjutan cerita NEKAD




Hampir satu jam perjalanan dengan bela, dari kejauhan ada perempuan berkerudung sedang melambai-lambaikan kedua tangannya. Sosoknya, tak asing bagi mata kami. Ketum berdiri satu meter didepan becak kami sambil tak hentinya senyum mengembang menyambut kami.
Ah, ketum….you look beautiful with that dress….;-)
Kata itu tak sempat saya ucapkan, saat melihatnya menggunakan dress panjang cantik warna putihtulang, dengan motif lucu. Sumringah menyambut kami. Saya tersepona…eh, terpesona….kamu cantik pake gaun itu tum!sumpah?!! sayang, saya tak sempat memotret diri bersamanya menggunakan gaun itu.
I loved your dress.
Aura pengantin terlihat diwajahmu;-)
Sederhana tapi cantik.
Tak berlebih. Cukup buat saya yang memandang.
Gara-gara terpesona melihatmu. Mas asfin, tak terlihat sama sekali…hehee..sumpah!sampe’ gak iling karo mas asfin yang ada disebelahmu tepat. Maapin aye ye ms.asfin…heheeheee….
***
Nyampek rumah ketum, tepatnya saya tak mengingat jam berapa. Yang jelas waktu ashar hampir mendekat.
Rumah sederhana nan cantik, yang tak menggambarkan keangkuhan pemiliknya. Entah kenapa saya menyukainya. Penuh tambak ikan disekelilingnya. Depan belakang, samping kanan-kirinya.
Jembatan kecil dari bamboo yang menggantung diatas sungai didepan rumah ketum, menyambut kaki-kaki kami menuju rumah mungil nan sederhana itu.
Didepan rumah, duduklah seorang anak laki-laki, masih muda, terlihat berantakan, dengan rambut poni menggantung hampir menutupi matanya yang sipit. Yang kemudian baru saya tahu, dia adalah si saddam, adik bungsu ketum. Alah mak… ini dia wajah yang jadi perbincangan kami selama ini.
Untuk yang satu ini saya tak bisa bercerita banyak karena memang belum benar-benar mengenal sosoknya. Kata nanox, adik ketum ini unik mbak…!!! Sayapun meng-iyakan, dan berkata dalam hati “ada penerus zaki, nox…hehee..
Hanya sebatas itu.
***

Suasana akad nikah sudah lewat. Tak ada resepsi. Semua selesai dalam satu hari, jum’at 25 maret 2011. Meski sedikit, suasana pernikahan ketum masih saya rasakan. Memang tak ada janur kuning melengkung di hari dimana kami tiba dirumahnya. Tapi hiasan kertas klobot yang menyilang menghias teras depan rumah, masih belum dilepas. Ada beberapa makanan khas pernikahan yang disuguhkan buat kami, masih sempat kami cecap. Setidaknya, saya merasa bahwa kemarin benar-benar ada acara besar buat ketum. Ketum sudah sah milik orang lain. Bukan lagi tanggung jawab ayah dan ibu.
Kamipun seperti tamu pada umumnya.
Bertamu.
Saya berkata pada niken, ah tak menyangka, kini giliran kita nduk…, yang melakukan aktifitas bertamu ala orang tua, menghadiri undangan pernikahan teman dan aktivitas sejenisnya yang dulu ketika kita masih kecil, aktivitas itu hanya milik para orang tua semata. Tak terasa uda sampai pada giliran kita. Arrrrrrrggggggghhhhhh!!!!tidaakkkkk!!!!
Kenapa begitu cepat!
Kamipun menginap semalam.
Disela-sela menjelang magrib, kami sempat ngobrol kecil bersama ayah dan ibu ketum. Si ibu berceletuk, “…yah seperti ini lah rumah kami mbak…, cicik menikah sederhana. Tidak dirayakan besar-besaran. Karena tepat maret satu tahun yang lalu, kakaknya menikah. Dan cukup besar-besaran, katanya sambil merem-melek menahan pusing dikepalanya.
“…nggak enak sama tetangga. Masak baru saja menikahkan anaknya pertama, mau mengundang tetangga lagi untuk pesta pernikahan anak keduanya. Cicik itu nekad mbk! Sama seperti saya.”
Saya dan niken cuma bisa tersenyum mendengar ibu bercerita segamblang ini kepada kami. Kata nekad terngiang ditelinga! Dalam hati, ya allah…, Ketum, aku salut untuk itu. Nekadmu dengan nekad kami memang berbeda. Nekadmu untuk berjihad. Dan kami tak berani, menyebut kenekad-an kami sebagai “jihad”. Entahlah aku bingung untuk mengistilahkan kenekad-anmu. Tapi yang jelas, kami tak perlu bingung, berbahagia untukmu.
Melihat ibubapak, tak asing mata saya. Seperti yang sering ketum ceritakan kepada saya. Ayahnya seperti ini, ibunya seperti itu, adik-kakak seperti ini itu, dan bla..bla..bla..bla…
Seperti itulah yang saya lihat, apa adanya. Begitu pula dengan ketum. Apa yang saya tahu dan saya lihat tentang diri ketum dijember, baik sifat, karakter; seperti itulah yang terlihat dimata saya ketika berada di lamongan. Tak ada bedanya. Tak munafik.
Jika ada yang bilang demikian.
Ia, hanya belum mengenalnya saja.
***

Perjalanan selanjutnya.
Pulang.
Kami siap-siap mulai jam 03.00 pagi.
Saya dan niken ikut rombongan ketum dan keluarga ke kencong-jember. Saya dan niken menjadi salah satu pengiring seserahan pengantin perempuan yang sudah diminta pihak laki-laki.
Dan saya harus berpisah dengan nanox. Lagi. Entah untuk berapa lama. Saya tidak tahu. Semoga Tuhan melalui menitnya masih menyimpankan kesempatan bertemu lagi. Saya tahu, saya lebay. Saya mengakui itu;D saya sempat berpikir waktu itu, kalau bertemu itu menyenangkan, kenapa harus berpisah. Saya lebay lagi!wakakakkak….
Tapi jujur, entah apa namanya, saya tidak tahu kenapa menjadi demikian.
Sempat juga saya berpikir; jangan-jangan ini adalah perjumpaan terakhir saya dengannya setelah jeda begitu panjang. Akankah ada jeda yang panjang. Lagi? Untuk pertemuan kedua?haha lebay meneh! Bukan hanya nanox, tetapi sahabat-sahabat lain yang sekarang ada disekitar saya, atau sahabat lain yang sekarang tak ada disekeliling saya, juga harus saya “tinggalkan” dan atau ditinggal mereka secara fisik. Sama-sama meninggalkan. Entahlah, pada akhirnya siapa ditinggal siapa dan siapa meninggalkan siapa?Aaaaaarrggghhhh!
Hahaha..saya sudah keluar jalur dari alur cerita.
Maap ye!
Focus. Tiba saatnya saya berpisah dengan nanox di sebuah jalur macet porong. Kami bersalaman sambil berpelukan. Dan sengaja, ia, saya peluk lama. Sebuah preclosing dari closing yang sebenarnya.
Dan kamipun benar-benar berpisah. Saya melihatnya nyata, berada diluar mobil yang kami tumpangi. Goodbye. Closing sesungguhnya.
Hahahaa,….nurong lebay!kata ketum.
Ah, ketum semakin tebal saja air mata saya. Tak tahan untuk tak jatuh!!! Benar-benar lebay.
Saya harus menerima. Denting perpisahan sudah berbunyi. Harus segera diakhiri. Seperti palu hakim yang diketuk, tak bisa diganggu gugat. Saya dan nanox harus jeda lagi.
Dan perjalanan terus berlanjut.
***

NEKAD





(Sebuah Perjalanan:niken,nanox dan nurong)

NEKAD. Perjalanan ini saya namai. Kenapa saya bilang nekad. Karena alasan-alasan terwujudnya perjalanan ini pun tak kalah nekad.

Begini awal ceritanya; ada sebuah kabar bahagia dari salah seorang sahabat dan sekaligus kakak perempuan bagi “adik-adiknya”, termasuk saya didalamnya. Kabar bahagia itu adalah dia akan menikah. Bagai burung perkutut, kami—adik-adiknya, berkicau sana-sini. Berisik. Dan sangat berisik. Kami tak percaya!mungkin itu makna kicauan kami. Maklumlah,, bagi kami, dia sangat cepat dan berani memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Khususnya bagi kami yang tahu, meski sedikit, tentang kakak kami tercinta ini. Dan bagi kami ini keputusan yang sangat cepat, meski saya akui itu hanya sepenglihatan mata kabur kami. Tapi mungkin bagi dia, yang tak tertangkap oleh kami, adalah sebuah penantian yang cukup lama dan penuh cerita. Seperti kata Tolstoy, Tuhan maha tahu, tapi DIA menunggu. Menurut saya, kali ini tuhan tak menunggu lagi, DIA menjawab.

Ketidak percayaan kami, saya khususnya, sirna ketika dia menjelaskan sendiri perihal pernikahannya yang akan segera dilaksanakan. Sambil tersipu, dia mengundang saya.
Ah,ketum…. (begitu saya memanggilnya)
Saya terharu, bahagia.
***

Setelah mendapat kabar itu, saya langsung memberitahu sabahat saya yang lain, , mengenai kabar ini. Seperti saya, iapun sock. Meski pada akhirnya, iapun mempercayai ketidakpercayaannya. Seperti kalimat yang ia tulis, “ masa ketum sudah tiba mbak….,”. dan ketidakpercayaannyapun luluh ketika ketum pun mengabarinya.

Dan kami pun, mulai menyusun agenda keberangkatan kami. Lamogan adalah tempat siketum akan melangsungkan pernikahannya. Saya dengan dua teman, yang juga sahabat dekat ketum, niken dan mb.obib—antusias dengan rencana perjalanan ini. Ketum sangat special buat kami, itu juga yang menjadi sebuah alasan kenekatan kami pergi ke Lamongan. Daerah yang belum pernah saya dan niken hampiri. Lamongan masih sebuah imajinasi dalam kepala kami. Tapi untunglah, mb.obib pernah sekali ke rumah ketum, lamongan. Jadi saya bersyukur, ada yang jadi penunjuk jalan diantara kami.
Rencana awal, kami akan berangkat hari jum’at, 25 maret 2011, hari H pernikahan ketum. Saya dan yang lainnya akan berangkat dari jember jam 05.00 pagi dengan kereta logawa. Dan menurut perkiraan, kami akan sampai dirumah ketum jam 13.00 wib. Meski tidak melihat ketum ber-akad, Paling tidak—kami tiba pada hari H, dimana ketum menikah.

Seminggu sebelum pernikahan ketum, rencana berubah. Kami tidak jadi berangkat pada hari jumat. Karena, si nanox masih ada jadwal kerja. Dan kami putuskan, hari sabtu, sehari setelah akad nikah. Niken, mb.obib dan saya sangat antusias ke Lamongan.
Man proposes, God disposes. Manusia berencana, Tuhanlah yang berkendak. Rencana berubah lagi. Kali ini bukan jadwal keberangkatan. Dua hari menjelang keberangkatan kami, sebuah pesan diterima niken “….ada sesuatu yang tak menyamankan perjalanan kita…”, bunyi sms mb.obib. Saya dan niken harus menerima kenyataan ini. Kenyataan dimana, kami berdua pergi kelamongan tanpa mb.obib, sipenunjuk jalan. Mb.obib harus pulang ke banyuwangi. Ada urusan sangat penting. Kami berduapun, pada akhirnya, menerima alasan itu meski dengan wajah murung. Alasan itu penting bagi mb.obib, tapi semangat kenekatan 100 persen yang kami bangun untuk pergi kepernikahan ketum, jauh-jauh hari, sedikit kehilangan nyawa. Tapi saya nggak mau menghentikan semangat ini. Pikir saya, sudah cukup bersusah payah meyakinkan diri untuk tetap pergi kelamongan. apapun yang terjadi, tetap pergi ke lamongan…hahaa, keukeeh nekad!!!!
***

Dan jadilah hanya saya dan niken yang berangkat dari jember, dan seorang teman yang menunggu di st.Sidoarjo. Hanya kami bertiga. Cewek-cewek. Tanpa pejantan dan penujuk jalan. Berbekal sebuah peta buta amatir, yang saya buat berdasarkan penjelasan mb.obib.

Dan jadilah, jam 04.45 subuh, saya dan niken menuju st.jember. Berdua bersepeda motor. Tak pikir panjang, sepeda motor dititipkan, dan kami langsung antri tiket. Dan kereta berangkatlah sudah. Saya dan niken, mengawali perjalanan nekad ini dengan senyum mengembang dan berselimut awan tebal, berkabut. Dingin. Lamongan kami akan menjumpaimu!;D

Tepat pukul 08.45 saya dan niken berhenti di st.Sidorajo, menemui seorang sahabat lain yang ikut rombongan kami (rombongan?!!!hahahaa…).

Meski tidak ada hubungannya dengan acara pernikahan ketum. Saya ingin menceritakan sahabat lain saya, yang satu ini. Nanox, saya memanggilnya. Kami—saya dan dia sudah cukup lama tak bertemu. Wajar, jika saya terharu ketika melihatnya kembali untuk pertamakalinya di st.Sidoarjo. Saya tak bisa menahan mata berkaca-kaca. Dan terjatuhlah, serta senyum yang mengembang tak hentinya. Saya dan dia cukup lama jeda berkomunikasi. Hanya sesekali saja. Tak intents seperti dulu. Ini mungkin yang membuat saya terharu, jeda panjang dari yang namanya ketemu dan ngbrol ngalor-ngidul bareng. Seperti katanya dalam sms, yang berbunga-bunga bertemu saya. saya pun demikian. Dan kamipun lebay……hahaahahaaa…

***

Rute selanjutnya adalah ke terminal bungur (surabaya) dengan kereta komuter dari st.sidoarjo. 15-20 menit kemudian kami sampai depan terminal Bungurasih. Tak lama menunggu, kami sudah berada di dalam bis arah semarang-lamongan. Menurut peta yang saya bawa, kami harus turun di lamongan Plaza. Kemudian naik transportasi yang bernama BELA.

Ini dia yang saya tunggu-tunggu. Si BELA yang dalam bayangan saya, adalah sebuah bis antar kota atau angkutan mewah dari lamongan. Ternyata kami bertiga tidak ada yang tahu satupun bagaimana bentuk BELA, dan apa singkatan Bela itu sendiri. Sampai di depan pintu keluar Plaza lamongan, kami kebingungan mencari si Bela. Panas yang menyengat tanpa ampun, tak menyurutkan kaki-kaki kami mencari bela. Dan akhirnya, kami menemukan Bela yang mojok didepan pintu Plaza. Bela…oh…bela… ternyata kau sebuah becak bermotor. Bela—becak Lamongan. Bela…oh…Bela…. Imajinasi saya tentangmu pun sudah terbayar nyata. Bela…oh..Bela….bentukmu tak secantik namamu. Bela…oh…bela…merananya dikau…..;P

Tawar-menawar harga pun terjadi. Kata ketum, patok harga 25-30 ribu rupiah. Kami menawar 30ribu desa banyu urip untuk tiga orang.
Si driver menyapu wajah kami bertiga, dan kemudian berkata, 45ribu!
Si nanox menawar. 30 pak?! Ya?!
45?!! Kata si driver.
30, pak!
Gak boleh mbak, 45!!! Jalannya susah mbk!
35 wes pak, kata nanox.
Sambil terpaku memandang kami, Ia pun sepakat. Tawar-menawar berakhir. Dan kami bertiga segera menaiki si Bela.
Sepanjang jalan, tak hentinya senyum mengembang. Cengengesan melihat tingkah-pola kami bertiga sendiri, yang duduk bertiga di atas becak lamongan. Bersempit-sempit ria. Untunglah badan kami kurus dan kecil. Minimal sibela tak merana kami duduki…hahaa….

Bela, Alat transportasi unik yang tak terbayangkan sebelumnya oleh pikiran kami. Menyusuri jalan sedikit berbatu, sedikit becek, sedikit tak beradab. Dan sedikit keberatan memuat kami, sibela dengan tanpa mengeluh tetap membunyikan mesinnya. Tak rewel ditengah jalan berbatu dan sedikit menanjak.

Eh…tapi lebih tak beradab menyusuri jalan rumah nyun…heheee.. (waah jadi inget si nyun ; andai nyun ikut! Dan anak-anak ideas yang lain juga ikut, pasti mereka malu naik Bela…hihihiiii). Mengko dadi kemayu la’an. Jalan menuju desa banyu urip, rumah ketum, masih cukup lumayan beraspal halus. Dan tak serepot jalan menuju rumah nyun, haha…nyun maneh;P hihihi…

Satu lagi, Disepanjang perjalanan menuju rumah ketum, yang tak kan ditemui di daerah manapun, tambak-tambak ikan terhampar luas di kanan-kiri jalan. Seluas mata memandang, disitulah tambak berjejer rapi nan hijau. Hampir setiap rumah, memiliki area pertambakan. Sepertinya, lamongan salah satu kota pengahasil tambak terbesar di negeri ini. Jalan tak beradab jadi tak terasa karena pemandangan langka ini. Sebanyak apapun polusi disana, tak kan dapat mengotori udara yang kita hirup, pikir saya. Masih benar-benar asri, meski panas menyengat.

Friday, March 11, 2011

Maaf,




Hanya ini yang tersisa
Sembunyikan air mata
Walau tetap berkaca

Ia memburuku
Menerkam
Tiada henti, tiap hari bahkan tiap detik
Tidak!
Bahkan tiap tarikan nafasku yang kembang kempis
Apa?!
Tegasekali ia!

Bukan, ia tega…
Karena aku yang berulah

Ulahku membalas
Hingga sesak yang kurasa
Menindih berat di hati

Teriakan kesakitanku sudah tak didengar
Aku tak punya suara lagi
Kataku terkunci rapat
Dalam air mata
Mampus aku tertikam


lantas kenapa kau masih berharap
mereka…
karena mereka…
lalu untukmu?
?







cheeers;-)enha

Monday, March 7, 2011

Disini,dalam hati—tanganmu tergenggam erat,,





Ketika dalam buaian,

Tak ingin lepas pandangannya melihat seorang ayah menggendong putri kecilnya yang baru saja terlahir di dunia. Tak ingin lepas pandangannya melihat seorang ayah bermain dengan putri kecilnya yang mulai belajar menyebutnya “ayah”.

Bukan kepalang senang sang ayah,bibir inocense-nya terbata-bata mengeja ”Pa.pa..pa..pa..”. Tak ingin lepas pandangannya melihat seorang ayah yang tetap menggenggam tangan dan memeluk ketika tangisnya memekakkan dunia.

Tak ingin lepas pandangannya melihat sang ayah yang selalu saja punya cara buat putri kecilnya tersenyum.

--Tak ingin cepat menjadi besar dan dewasa,karena takut kehilangan--
Tak ingin lepas pandangannya melihat seorang ayah berpesan kepada putri kecilnya; hati-hati disekolah, belajar yang rajin,hormati gurumu,bertemanlah jangan bertengkar.
Tak ingin lepas pandangannya melihat seorang ayah yang masih saja memperlakukan gadisnya—putri kecil. Aku juga heran, entah kenapa.

Ketika dalam pelepasan,

Tak ingin lepas pandangannya melihatnya bekeluh;Tak terasa waktu cepat sekali berubah, Aku rindu menggenggam tangan mungil itu—dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Sang ayah mencoba tetap tegar dengan berkata dalam hati; biarlah.sudah waktunya aku melepaskannya. Walau tanganku tak gengam tanganmu. Tapi disini—dalam hati,tanganmu tergenggam erat.


....Entah kenapa aku suka sekali. Suka Melihat romantisme Ayah dan anak perempuannya. Sangat suka sekali. Ada sesuatu,di sini—dalam hati. Yang membuatku tak mau kehilangan romantisme itu. di persimpangan jalan,di sekolah, di taman,di bis,di kreta,di rumah, di sudut-sudut dunia yang mungkin tak pernah kulihat. Di pagi, di siang, di sore, di malam, di terang, bahkan di gelap malam, tak ada batas waktu yang membatasiku melihat sosok itu. Merasakan sosok itu.


Ayah dengan perempuan kecilnya.Ayah dengan gadisnya.Ayah dengan gadisnya yang kini menjelma menjadi perempuan dewasa.Ayah dengan gadisnya yang menjelma menjadi seorang ibu.Ayah dengan gadisnya yang kini menjadi seorang nenek. Untuk Dia—yang bernama Ayah. Disini—dalam hati,tanganmu tergenggam erat-,,












cheers, enhikma;-)
gambar dari http://kolomkita.detik.com

Wednesday, February 16, 2011

Aku tak benci kau




Jika mereka sama denganmu
Mengapa kau terusik dengan secuil perbedaan yang ada diantara mereka
Katanya kau menyayangi mereka
Jika kau tau, ketakseragaman adalah fitrah dari tuhan
Kenapa kau berusaha menyeragamkan mereka denganmu
Dengan kekerasan pula,
Katanya kau mencintai mereka

Demi agama
Demi moral
Demi tuhan
Dengan semua “demi” itu kau halalkan jalan kekerasan kepada saudaramu seiman

Kau mencurigai keimanan mereka
Kau mengkafirkan keyakinan mereka
Kau menyalahkan ritual sembahyang mereka
Hanya karena tak sama

Entah berapa banyak lagi masjid-masjid mereka kau bakar
Senangkah kau melihat mereka—perempuan, ayah, ibu, anak-anak dan orangtua ketakutan dan menangis karena kehilangan tempat tinggal yang juga kau obrak-abrik
Senangkah jika anak-anak—generasimu tertawa bangga melihatmu melalui televise sedang berteriak-teriak membasmi kemungkaran—katamu dalam spanduk-spanduk yang kau usung—dengan cara mengabaikan keadilan.


Kau memaksa,
Kau benar-benar pemaksa kehendak

Aku tak benci kau dan segala atribut yang menempel didirimu
Aku hanya membenci kekerasan yang kau lakukan

Tuhan;

Haruskah dengan cara perang, konflik diantara sesama kami—untuk memahamiMu dalam satu definisi.

jika Kau ingin disembah dalam satu cara, mengapa kau buat kami berbeda-beda.


















tabik, enha.
gambar dari: azimashaary.blogspot.com

Think of YOU




Berdialog dengan Tuhan. berdialog denganMu memang mengagumkan tuhan. Seperti detik ini, aku sedang membicarakanMu. Sebenarnya, terkadang aku merasa sedang monolog. Karena secara harfiah, aku berbicara sendiri. Tapi sungguh, ketika aku benar-benar merasakan keberadaanMu dalam dialogku, sesuatu yang kasat mata seperti menguatkan keyakinanku tentang kehadiranMu di urat nadiku. Bahkan serasa lebih dekat dari itu. Entahlah, seperti tiada celah diantaranya—urat nadi dan tubuhku.

Tuhan. Detik ini, seraya menatap langit-langit kamar, aku berfikir seperti ini;

“Tuhan meniupkan RohNya dalam diriku saat usiaku enambelas minggu di alam rahim ibu.”

Berarti jika RohMu “bermukim” dalam diriku sejak saat itu. Bolehkah aku mengatakan bahwa kita sebenarnya tumbuh bersama. Terlahir pada detik yang sama. Growing up together. Meski sebenarnya kita berbeda. Atau bolehkah aku mengatakan bahwa Engkau adalah aku , dan aku adalah Engkau. Atau…. Kau adalah aku dan aku bukan Engkau. Ah, terlalu cepat memang untuk sebuah kesimpulan tanpa adanya investigasi yang lebih dalam tentangMu. Iya aku akui itu, kali ini tanpa referensi apapun—aku menulis tentang kita, Kau dan aku. Aku hanya ingin menulis tentangMu, seperti yang aku rasakan. Hanya itu. Jangan marah ya….please;-]

Aku mencoba melanjutkan tafsir liar ini;

Dan kita sebenarnya hanya satu.

Tak ada sekat diantara kita.

Engkauaku.

Seperti ini kah?

Atau,
Engkaulah yang sebenarnya lahir ke dunia dalam wujud diriku dan manusia-manusia lain yang kau ciptakan? Aku hanyalah “tanah berbentuk” yang kau ciptakan untuk menempatkan diri—RohMu, bersemayam dalam tubuh lemahku. Dan karena Engkaulah, aku menjadi kuat.

Atau bagaimana?

Aku jadi tertawa sendiri Tuhan ketika otak ini memaksa memikirkan hal-hal lugu, yang takkuketahui kebenaran sesungguhnya.

Tapi sungguh, tanpa referensi atau teori-teori apapun tentang Mu, hatiku tak menolak tentang keberadaanMu.

Sungguh, Tuhan. Aku tak berbohong.

Emmm…
Apakah pernyataan ini juga karena Engkau yang meyakinkanku, memaksaku untuk mengeluarkan pernyataan itu?

Ah, tuhan….

Entahlah, aku jadi berkaca-kaca membayangkan ini.

Apalagi ‘membayangkan’, meski sebenarnya aku mengiyakan kebenaran ini; Engkau dan aku menghirup udara yang sama. Tertawa bersama. Merasakan kesedihan bersama. Hidup dalam degup jantung yang sama. Merasakan bersama-sama tiap detik detak jantung berdetak. Dan dan ketika aku berfikir, seperti detik ini, sebenarnya Engkaulah yang berfikir. Lantas, kenapa Engkau perlu berfikir?. Dan apakah seluruh karakteristik, sifat dan nafsu manusia adalah salah satu manivestasi dari bentuk diriMu yang sesungguhnya. semuanya itu ada dalam tubuhku—manusia, tuhan.

Inikah yang namanya Ruh, tuhan? Ruh, yang tak ku ketahui ilmunya. Sungguh, Ruh adalah hanya urusanMu.

Secuil.

Hanya sedikit saja ilmu tentang ruh itu Kau bagi dengan kami.

Oh, tuhan.
Dari secuil ilmu ruhMu, aku tak punya secuil pun pengetahuan tentangnya.
Maaf—jika aku melampaui batas.

Tuhan.

Sungguh, aku hanya ingin mengatakan;

Mengagumkan berdialog denganMu dan ayat-ayat semestaMu.

MemikirkanMu sesederhana mungkin,

meski sebenarnya Kau tak se-simple yang kubayangkan,

Kau juga tak seruwet teori-teori para filusuf yang kubaca, meski aku menyukainya.

Kau—begitu mudah kukenali.

Kita saling mengakrapi

Itu cukup,

dan itu sungguh menyenangkan,
bagiku.

;-)














Tabik, enha;-)
gambar diambil dr http://browse.deviantart.com/?q=think%20of%20you#/d1y45ic

Monday, February 14, 2011

kangen rosul




Muhammad.
mengenalmu tak kalah menyenangkannya dengan mengenal Tuhan

Muhammad.
Mengenalmu jauh menitikan airmata daripada mengenali diri

Muhammad.
Kau membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya

Muhammad.
Kau tahu dimana pertama kali aku mengenalmu—di rumah kecilku, dan kau tau dari siapa aku mengenalmu—dari mulut-mulut baik ayah-ibuku lewat lantunan sholawat buatmu.

Muhammad,
Apakah kau ingin tahu lebih jauh lagi? Bagaimana aku bisa mengenalmu dan mengakrabi namamu dalam hatiku, serasa telah lama bertemu –melebihi usiaku.

Muhammad,
setelah dari darah dagingku dan rumah kecil tempatku dilahirkan, aku mengenalmu dari rumah tuhan—lewat mulut-mulut baik para guru ngaji.

Muhammad,
Mereka semua bertutur baik tentangmu. Serasa Kau ada di depan mata dan hidup berdampingan denganku.

Tapi, ya Muhammad…
Ketika aku beranjak dewasa, begitu banyak caci-maki sesamaku tentangmu
Apalagi sekarang, zaman sudah tak lagi berada dalam lingkaran masamu. Saat engkau telah jauh meninggalkanku berabad-abad.

Muhammad,
Terkadang aku sakit hati, jika mendengar hal-hal buruk apapun yang mereka labelkan pada nama agungmu. Aku tak terima, muhammad. Terkadang juga ingin rasanya membalas menghujat mereka. Tapi aku memilih diam. Seperti katamu, mereka hanya tak mengenalmu saja. Tak tahu hal yang sebenarnya tentangmu. Dan nasihat inilah, yang membuatku memilih cara lain untuk membalasnya.

Muhammad,
Kau tau, bagaimana aku membalasnya. Tetap bersikap santun, tetap menjadikanmu suri tauladan dan tetap menyebarkan (memberikan contoh) ajaran-ajaran kebaikan yang telah kau ajarkan. Meski semua itu hanya aku yang mentasbihkannya sebagai balasan yang arif.

Muhammad,
Memang aku akui, tak semua memilih seperti itu. Sebagian dari umatmu yang sakit hati membalas dengan sikap Anarki atau kekerasan. Kau tahu, aku sedih melihat ini. Lebih sedih ketika mendengar namamu dan sosokmu dihinakan. Karena menurutku, sikap anarki atau kekerasan (membalas menghujat) yang ditunjukan sebagian dari saudaraku, menjadikan nama agung dan indahmu bertambah luka. Sikap anarki akan menimbulkan pandangan yang lebih buruk tentangmu. Dan menjadikan mereka semakin menjadi-jadi untuk memperburuk biografi hidupmu. Semoga kau memaafkan kami.

Muhammad,
Jujur, aku harus sadar. Bahwa saat ini kita sungguh ber-j-a-r-a-k.

Muhammad,
Iya. Ber-J—A—R –A –K, muhammad,

Ber-J—A—R—A—K.

Dan jarak ternyata membuatku menyadari sesuatu, sesungguhnya aku belum begitu mengenalmu. Terlihat jelas dari sifat dan sikapku, jauh dari sifat dan sikap yang ada dalam teladanmu.

Kenapa aku jadi menyalahkan JARAK?
Inikah yang menyebabkan kita semua mempunyai sudut pandang berbeda tentangmu. Atau hanya karena kami kurang mengenalmu.

Muhammad,
Sungguh aku merindukanmu, kekasih.

Muhammad Kekasihku,
sungguh aku tak malu menyebutmu demikian seperti aku malu menyebut lelaki lain sebagai kekasih.

Muhammad,
Meski saat ini aku hanya bisa memandangi namamu melalui kaligrafi—karya tangan-tangan yang mencintaimu.

kangen sosokmu rosul...
menatap jauh punggungmu
aku disini
tetap menatap
dan
iqra'

kangen rosul...














Tabik, enha.

larutkan nyanyian malam




Tuhanku
Ku ingin bercerita
Ku tunduk bersujud
Ku mulai berdoa

Lelahnya jiwaku
Beratnya langkahku

Tuhanku
Ku rindu tawaku yang dulu
Kejujuran kebenaran yang dulu ku tahu
Ke mana semua
Sejauh itukah
Ku sesal sudah

Peluklah semua tanyaku
Jawablah dengan cara Mu

Tuhanku
Ku ingin berkelana
Kembali mencari jalan ke rumah
Bukan di sini tempat ku
Bukan mereka yang ku cinta

Hari ini
Ku mengenali
Arti keberanian
Yang menerbangkanku
Di atas semua derita
Dan apa kabarnya

Usai semua sandiwara
Cukup ku berpura pura
Sejujurnya
Hanya dia yang ku cinta
Ke hatinya aku ingin pulang





"...sedang bertafaku dengan nyanyian pulangmu--dee..."

Cerita Perempuan kecil dan Payung hitamnya





Apa kabarmu wahai perempuanku. Seribu wajah mudamu terlukis dalam ingatan. Tersketsa jelas. Sejelas senyum yang kau bagi buatku malam itu. Ini perjumpaan pertama ku denganmu di malam bulan syawal;setelah cukup lama tak menjumpai wajahmu yang familiar dalam selaput pelangi mataku.

Adakah pesan ingatanku tentangmu pagi ini. Tak elak lagi, aku merindukanmu.
dan, bagaimana kabar payung hitam mu? Payung hitam yang kau pakai untuk melindungi tubuh kecilku dari gelontoran hujan-hujan sore itu.

Apakah kau bertanya, kenapa aku masih ingat dengan payung itu?. Tentu. Aku harus mengingatnya. Momen bersamamu dan payung itu tak kan lekang di gilas usiaku.
Jujur, kenangan indah bersamamu di waktu kecil, membuatku sengaja berniat untuk menjaga dengan sungguh-sungguh kepingan mozaik kehidupan yang kubangun denganmu. Terlalu indah untuk menyingkirkanmu dalam ingatan dan hati kecil ini.

Kau tak tau bukan, apa yang ada dibenakku—anak bertubuh ringkih kelas tiga esde. Saat hujan benar-benar membuatku takut untuk pulang seusai sekolah sore tahun 1995. Lima belas tahun yang lalu. Keluar dari gerbang sekolah, segera aku merayap dan berteduh dipondok bambumu.

Ibumu tak menjemputmu? Tanyamu.

Mungkin karena langit sore itu berselimut mendung hitam pekat. Aku disuruh menunggu diwarung rujakmu, pikirku dengan wajah kekhawatiran.
Namun mendengar kau berucap, “pulang sama saya saja, dan tunggu sebentar. Saya beres-beres warung dulu”.
Dan detik itu pula, ketakutanku akan badai sore itu menghilang tiba-tiba. Aman, Itu yang kurasa setelah mendengar ucapanmu.

Dan kita pun menyusuri jalan pulang kerumahmu. Setelah sebuah plastik hitam mendarat di tanganku—pemberianmu, untuk membungkus tas dan sepatu kasogi milikku. Ternyata kau khawatir juga. Hujan membasahi buku dan sepatu satu-satunya yang kupunya.
Sama-sama tanpa alas kaki, kau dan aku tetap berjalan di atas tanah licin dan berlumpur, disertai hujan lebat sore itu. Seperti biasa, kau berjalan membelakangiku. Aku mengikuti derap langkah kaki cepatmu menapak jelas diatas jalan setapak berlumut mendekati gubukmu. Tanpa kata. Hanya suara hujan yang mewakili kebisingan diantara kita. Dan masih ingatkah kau dengan rel-rel kereta api yang kita sebrangi, menuju rumahmu. Rel-rel mati itu menjadi saksi hidup mozaikku bersamamu. Sungguh, itu cukup bagiku.

Setengah jam kemudian, nampaklah hunianmu. Kau masuk lewat pintu belakang, hanya untuk meletakkan barang-barang kotor bekas jualanmu hari itu. Tanpa berkedip, mataku mengikuti gerak tubuhmu mengitari ruang kecil beratap daun kelapa yang mulai menua. Ruang yang baru aku ketahui fungsinya, untuk tempatmu beristirahat bersama nenek tua, ibu dari ibu kandungmu.

Tanpa jeda sedikitpun, kau ambil payung hitam milikmu untuk mengantarku pulang. Aku tahu, jarak rumahku terlalu melelahkan untuk ditempuh dengan kaki-kaki ini. Tapi tak kau tunjukkan sedikitpun kelelahanmu. Aku salut. Dan terimakasih.

Payung hitam itu, masih sangat membekas dalam sketsa kecilku. Kau dan payung hitam itu, sungguh mulia. Cukup membuat kepalaku terlindungi derasnya hujan.
Kita berbagi sebuah payung. Kau selendangkan tangan kananmu diatas pundakku, isyarat agar tubuhku lebih dekat denganmu. Merapat, serapat-rapatnya. Dan lagi-lagi tanpa sepatah katapun meluncur dari bibir birumu yang menggigil. Kau dan aku menelusuri jalan setapak, sepanjang sungai kecil yang telah berubah lebih menyeramkan karena banjir besar menerjang. Sungai kecil itu meluas hingga sepuluh meter. Naik tiga kali lipat dari sungai kecil biasanya. Akan lebih menyeramkam, ketika waktu itu aku sendiri menyusuri jalan pulang.

Tapi sore itu malaikatku datang…..

Dan baru aku tahu, kaulah malaikat itu. Malaikat yang menjaga anak kecil dari mara bahaya. Meski aku juga tahu, tak ada malaikat berkelamin perempuan. Ah, itu tak penting. Adalah yang jelas dan paling penting—kau baik sekali padaku.

Dengan seluruh tubuh yang basah kuyub dan bibir yang membiru, aku pun sampai dirumah.
Kau dan aku berdiri mematung beberapa detik di depan pelataran rumahku yang tergenang air tigapuluh senti.

Mematung.

Dan tiba-tiba kau, hanya berucap pamit pulang setelah ucapan terima kasihku mendarat dari bibir kecilku yang kelu karena menggigil kedinginan.

Dan…

Kaupun mulai menjauh….










berjalan…



memunggungiku….

jauuuuuuuuh…

kembali pulang berteman hujan dan payung tua yang saling bicara dalam kebisuan.
Kau dan payung hitam itu bercerita.
dan aku,

mulai membacanya….…

Seperti saat ini.

Aku senang kau sehat dan baik-baik saja malam itu. Kau mulai nampak menua memang. Seraut wajahmu terlihat keriput. Tapi senyummu malam itu, tak menghilangkan wajah mudamu yang kukenal saat kecil dulu. Tubuhmu yang mungil, masih tetap saja. Sangat tampak sekali, aku mengejarmu.

Memelukmu malam itu memaksa otakku memutar kembali kenangan kita berdua, kau dan aku. Pelukanmu dan pelukanku saling meng-erat. Kemudian saling lepas pelukan, dan saling menatap. Mungkin dalam pikirmu, “kau sudah besar, wajah kecilmu sudah semakin terlihat memburam. Kini wajah-wajah mungilmu menemukan bentuk kedewasaannya”. Senyumku mengembang. Kau tau apa yang ada dalam pikirku saat menatap matamu malam itu, “Kau perempuan baik, aku tak kan menghianati ingatan kecilku—tuk melupakanmu”. Semoga, sang waktu tetap menyiapkan menit-menitnya untuk pertemuan kita kembali.








Persembahan untuk;
Perempuan yang aku cintai, selain ibu.
Tabik, enha.

gambar dari http://browse.deviantart.com