Sunday, October 17, 2010

Ini saja




Bapak-ibu,
Terima kasih atas ketulusan kasih sayang yang kalian berikan

Bapak-ibu,
Terima kasih atas keikhlasan doa yang kalian lamatkan ditengah malam

Bapak-ibu,
Terima kasih atas kebaikan yang mengalir tercurah tanpa lelah

Bapak-ibu,
Terima kasih atas air mata yang mengalir tanpa pamrih

Bapak-ibu ,
Terima kasih telah tidak menjadikanku majusi, yahudi dan nasrani

Bapak-ibu,
Terima kasih telah menuliskan serangkaian kesabaran dalam hati

Bapak-ibu,
Terima kasih telah menodai hati kami dengan berjuta akhlaq kebaikan

Bapak-ibu,
Terima kasih telah mematri hati kami dengan ayat-ayat-Nya

Bapak-ibu,
Terima kasih atas pengajaran dalam memahami semua ayat semesta melalui sosokmu

Bapak-ibu,
Terima kasih telah menjadi orang tua kami

Keikhlasan dan kesabaran kalian menjadikan kami memakai mantra ini untuk mencintai , ikhlas dan sabar menjadikan bapak-ibu orang tua kami karena Allah

Bapak-ibu,
Tentang sikapku, tentang ucapku, tentang salahku, tentang sifatku dan segala hal dalam hidupku yang bersinggungan denganmu, maaf. Kaulah kecintaanku, perempuan dan laki-laki yang akan kusayangi sampai aku mati.*




Bapak-ibu,
Terimakasih, itu saja.












Salamku, enha.
-* diubah dari kutipan fahd djibran dalam novel Rahim.

women of the day



mengenangmu diee, sudah lama tak bersua….
Rindu suara khasmu…
Diana sekali….

Perempuan. Kecil, mungil, berkulit hitam dan berkacamata—itu lah yang dapat aku dan mungkin kau juga, ketika melihat sosok perempuan ini. kuceritakan dalam bentuk deskripsi pendek. Sangat pendek. Ada satu hal yang membuatku familiar dengannya. Satu hal yang membuat aku tak meragukan sosoknya lagi. Dan satu hal yang membuatku terpingkal-pingkal jika mendengarkan dia bercerita. Yang tak lain adalah aksen Maduranya, yang telah mendarahdaging. Ya iyalah, perempuan yang satu ini berasal dari Situbondo,dimana bahasa Madura sebagai bahasa ibu, yang digunakan oleh mayoritas masyarakat daerah tapal kuda itu.

Sosoknya mungkin tak se”penting” teman-temannya di kampus fakultas sastra jember. mungk in kita yang tak mengenal sosoknya akan Jugde a book by it’s cover. “Melihat” seseorang dari apa yang tampak oleh kacamata kita. Menilainya dengan sebelah mata. Lebih tepat meng-underestimate nya. Ah, bisa apa sih anak itu. biasa aja. Masuk universitas saja mungkin sebuah keberuntungan buatnya, pikir kita. Akupun tak luput dari pikiran bodoh dan tak manusiawi itu. sungguh bodoh.
Dia yang bernama Diana Mahfud.

Diee…,begitu kiranya aku sering menyebutnya. Kali ini, aku dan pikiran bodohku tentang dirinya terbakar, terbang, hilang, dan tak tau rimbanya pikiran bodoh itu pergi. Samar-samar asapnya pun tak terlihat oleh pandangan mataku. Bukan hanya kabur, tapi terusir oleh kehendakNya. Kosong.
Kali ini yang terlihat pada sosok mu adalah, Kau memang ajaib. Kau memang unik. Kau memang salah satu makhlukNya yang menginspirasi aku—manusia bodoh. You are my inspiring women. Andai wanita seluruh dunia ini tau kisah mu yang sederhana dalam hidup. Kau pasti menjadi salah satu inspirasi wanita di seluruh penjuru dunia.

Disuatu pagi, pertemuan kita yang tak terjadwal sebelumnya. Kau bercerita panjang lebar tentang hobby mu menggambar. Aku akui memang, gambaranmu sungguh luar biasa. Kau biarkan jari-jarimu menari dengan lunglai, menggores kertas putih sederhana dengan wajah-wajah manusia yang kau kenal dan tak kau ketahui, siapa dia yang kau sketsa. Puluhan bahkan ratusan mungkin, sketsa-sketsa yang sudah kau lukis. Dari teman-teman sekampus, bahkan kakak-kakak kelas yang minta di sketsa wajahnya olehmu tanpa bayar alias gratis,seGratis air hujan.

Akupun tak luput sebagai klienmu. Kali ini ku minta kau, mensketsa foto nenek dan kakekku. Kau pun menganggukkan kepalamu tanda setuju. Tapi…, katamu menjawab sambil tersendat. Sekarang nggak gratis. Aku pasang tarif untuk satu buah sketsa. Tarifnya, tarif pacar!. Katanya sambil sdikit ketawa. Maksudmu apa diee,,,? Tanyaku penasaran. Ya tarif pacar…, “tariff—apapun akan diberikan buat pacar”. Berarti buat aku, nilai satu sketsa adalah kau memberikan apa yang aku minta. Karena antara aku (pelukis) dank kau (pemesan/klien) adalah ada ikatan “in relationship,” katanya sambil tertawa puas. Akupun tertawa terpingkal-pingkal antara mendengarnya bercerita dan mendengar aksen maduranya yang khas Diana sekali.

Tariff pacar ini terinpirasi oleh peristiwa-peristiwa lucu yang terjadi di sekitar orang-orang atau sahabat-sahabat terdekatnya yang dapat ditangkap oleh kacamata dan mata batinya. Salah satu ceritanya tentang sahabatnya yang seperti pembantu rumah tangga saja, mau disuruh ini-itu oleh sang pacar. Disuruh masak tiap pagi. Laptop nya tak pernah pulang-pulang, karena dipakai sang pacar. Jaket baru yang baru dipakai tak lebih dari dua kali pemakain, sekarang sudah pindah tangan si pacar dan sepertinya tak ada waktu untuk kembali kepelukannya. Ah,kamu ini mau aja ya jadi romusha! Ini-itu mau diatur orang lain. Dia kan Cuma pacar. Cuma pacar. bukan suamimu.,cerita Diana padaku yang asik mendengarnya sambil tersenyum mengenang trageditragedi lucu dan bodoh itu. peristiwa-peristiwa kecil setiap detiknya selalu menggelitik tangan dan pikirannya untuk di ditulis dalam sebuah cerita pendek. Salah satunya cerita tentang sahabatnya itu.

Sungguh! dunia ini banyak hal yang bisa kita tulis, rul. Tutup Diana, sambil meringis mengakhiri ceritanya.

Tuhan. pagi itu dia lah women of the day buatku. Kata-kata terakhirnya terngiang-ngiang ditelingaku, tak henti-henti membentuk paduan suara yang menyanyikan lagu Indonesia raya. Simple.sederhana. tapi penuh daya magis. Buatku khususnya.

Diana tak hanya berbakat dalam melukis, tapi juga bercerita. Tak hanya lisan tapi juga tertuang indah dalam tiap tulisan-tulisannya. Cerpenmu yang berjudul “daster untuk ibu” sudah aku baca. Bagus.,Kataku mengalihkan topic. Kemarin aku baca lewat websitenya si Zaki yang di taq ke social network—FB (facebook). Diana terkejut, mendengar ceritaku. Masak?!koq zaki nggak bilang aku?!katanya bertanya-tanya sendiri.

...

Diee..Cerpenmu yang masuk nominasi urutan ke 6 sejawa timur boleh aku baca?

Diana tersenyum.

Kamu mau baca?merepetisi pertanyaanku.

Boleh kan?kataku.

Boleh lah, besok aku kasih hardcopynya ke kamu ya…!

Ok.jawabku, senang.

Kalau boleh tau tentang apa sih cerpen itu sampai bisa masuk juara ke 6 Se-Jatim?

Poligami, jawabnya enteng.

Apa ?aku terkejut, tak menyangka.

….



….

….

….



Setelah sebuah obralan inspiring itu, dan sebuah janji untuk kembali bersua itu, aku tak pernah lagi melihat batang hidungnya. Kangen….









cheers;-) enh.

women of the day





mengenangmu diee, sudah lama tak bersua….
Rindu suara khasmu…
Diana sekali….


Perempuan. Kecil, mungil, berkulit hitam dan berkacamata—itu lah yang dapat aku dan mungkin kau juga, ketika melihat sosok perempuan ini. kuceritakan dalam bentuk deskripsi pendek. Sangat pendek. Ada satu hal yang membuatku familiar dengannya. Satu hal yang membuat aku tak meragukan sosoknya lagi. Dan satu hal yang membuatku terpingkal-pingkal jika mendengarkan dia bercerita. Yang tak lain adalah aksen Maduranya, yang telah mendarahdaging. Ya iyalah, perempuan yang satu ini berasal dari Situbondo,dimana bahasa Madura sebagai bahasa ibu, yang digunakan oleh mayoritas masyarakat daerah tapal kuda itu.

Sosoknya mungkin tak se”penting” teman-temannya di kampus fakultas sastra jember. mungk in kita yang tak mengenal sosoknya akan Jugde a book by it’s cover. “Melihat” seseorang dari apa yang tampak oleh kacamata kita. Menilainya dengan sebelah mata. Lebih tepat meng-underestimate nya. Ah, bisa apa sih anak itu. biasa aja. Masuk universitas saja mungkin sebuah keberuntungan buatnya, pikir kita. Akupun tak luput dari pikiran bodoh dan tak manusiawi itu. sungguh bodoh.
Dia yang bernama Diana Mahfud.

Diee…,begitu kiranya aku sering menyebutnya. Kali ini, aku dan pikiran bodohku tentang dirinya terbakar, terbang, hilang, dan tak tau rimbanya pikiran bodoh itu pergi. Samar-samar asapnya pun tak terlihat oleh pandangan mataku. Bukan hanya kabur, tapi terusir oleh kehendakNya. Kosong.
Kali ini yang terlihat pada sosok mu adalah, Kau memang ajaib. Kau memang unik. Kau memang salah satu makhlukNya yang menginspirasi aku—manusia bodoh. You are my inspiring women. Andai wanita seluruh dunia ini tau kisah mu yang sederhana dalam hidup. Kau pasti menjadi salah satu inspirasi wanita di seluruh penjuru dunia.

Disuatu pagi, pertemuan kita yang tak terjadwal sebelumnya. Kau bercerita panjang lebar tentang hobby mu menggambar. Aku akui memang, gambaranmu sungguh luar biasa. Kau biarkan jari-jarimu menari dengan lunglai, menggores kertas putih sederhana dengan wajah-wajah manusia yang kau kenal dan tak kau ketahui, siapa dia yang kau sketsa. Puluhan bahkan ratusan mungkin, sketsa-sketsa yang sudah kau lukis. Dari teman-teman sekampus, bahkan kakak-kakak kelas yang minta di sketsa wajahnya olehmu tanpa bayar alias gratis,seGratis air hujan.

Akupun tak luput sebagai klienmu. Kali ini ku minta kau, mensketsa foto nenek dan kakekku. Kau pun menganggukkan kepalamu tanda setuju. Tapi…, katamu menjawab sambil tersendat. Sekarang nggak gratis. Aku pasang tarif untuk satu buah sketsa. Tarifnya, tarif pacar!. Katanya sambil sdikit ketawa. Maksudmu apa diee,,,? Tanyaku penasaran. Ya tarif pacar…, “tariff—apapun akan diberikan buat pacar”. Berarti buat aku, nilai satu sketsa adalah kau memberikan apa yang aku minta. Karena antara aku (pelukis) dank kau (pemesan/klien) adalah ada ikatan “in relationship,” katanya sambil tertawa puas. Akupun tertawa terpingkal-pingkal antara mendengarnya bercerita dan mendengar aksen maduranya yang khas Diana sekali.

Tariff pacar ini terinpirasi oleh peristiwa-peristiwa lucu yang terjadi di sekitar orang-orang atau sahabat-sahabat terdekatnya yang dapat ditangkap oleh kacamata dan mata batinya. Salah satu ceritanya tentang sahabatnya yang seperti pembantu rumah tangga saja, mau disuruh ini-itu oleh sang pacar. Disuruh masak tiap pagi. Laptop nya tak pernah pulang-pulang, karena dipakai sang pacar. Jaket baru yang baru dipakai tak lebih dari dua kali pemakain, sekarang sudah pindah tangan si pacar dan sepertinya tak ada waktu untuk kembali kepelukannya. Ah,kamu ini mau aja ya jadi romusha! Ini-itu mau diatur orang lain. Dia kan Cuma pacar. Cuma pacar. bukan suamimu.,cerita Diana padaku yang asik mendengarnya sambil tersenyum mengenang trageditragedi lucu dan bodoh itu. peristiwa-peristiwa kecil setiap detiknya selalu menggelitik tangan dan pikirannya untuk di ditulis dalam sebuah cerita pendek. Salah satunya cerita tentang sahabatnya itu.

Sungguh! dunia ini banyak hal yang bisa kita tulis, rul. Tutup Diana, sambil meringis mengakhiri ceritanya.

Tuhan. pagi itu dia lah women of the day buatku. Kata-kata terakhirnya terngiang-ngiang ditelingaku, tak henti-henti membentuk paduan suara yang menyanyikan lagu Indonesia raya. Simple.sederhana. tapi penuh daya magis. Buatku khususnya.
Diana tak hanya berbakat dalam melukis, tapi juga bercerita. Tak hanya lisan tapi juga tertuang indah dalam tiap tulisan-tulisannya. Cerpenmu yang berjudul “daster untuk ibu” sudah aku baca. Bagus.,Kataku mengalihkan topic. Kemarin aku baca lewat websitenya si Zaki yang di taq ke social network—FB (facebook). Diana terkejut, mendengar ceritaku.

Masak?!koq zaki nggak bilang aku?!katanya bertanya-tanya sendiri.

Diee..Cerpenmu yang masuk nominasi urutan ke 6 sejawa timur boleh aku baca?

Diana tersenyum.

Kamu mau baca?merepetisi pertanyaanku.

Boleh kan?kataku.

Boleh lah, besok aku kasih hardcopynya ke kamu ya…!

Ok.jawabku, senang.

Kalau boleh tau tentang apa sih cerpen itu sampai bisa masuk juara ke 6 Se-Jatim?

Poligami, jawabnya enteng.

Apa ?aku terkejut, tak menyangka.
….



….

….

….



Setelah sebuah obralan inspiring itu, dan sebuah janji untuk kembali bersua itu, aku tak pernah lagi melihat batang hidungnya. Kangen….









Monday, October 4, 2010

snow girl



Yang harus dilakukan seseorang dalam mimpi-mimipinya, hanyalah meyakininya. Karena Tuhan pasti memeluk erat mimpi-mimpi hambaNya. Dan karena Tuhan itu adalah menurut prasangka tiap makhlukNya. Maka tunggulah dengan sabar ketetepan Tuhan atasmu.


Tepatnya kapan,aku lupa. Lupa kalau aku punya mimpi tentang keinginan merasakan sesuatu yang berwarna putih, bersih dan dingin jika menempel dikulit. Sesuatu yang turun dari langit yang biru. entah apakah ini layak disebut mimpi, atau hanya sekedar keinginan sesaat—pada waktu itu. Yaaa, kurasa ini hanya keinginan masa kecil. Mimpi—memeluk salju. Mimpi tinggal di negeri berselimut salju. Mimpi memakai baju-baju tebal untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya cuaca bersalju. Bermimpi jika aku berada dinegara yang bersalju, asyik kali ya, kalau ngomong mulutku mengeluarkan sesuatu yang berwarna putih,atau lebih tepatnya semacam asap rokok—kali ini asapnya tak menyebabkan gangguan paru-paru, jantung, rahim dan impotensi. Aku menyebut asap itu dengan sebutan, kabut tipis ajaib. Ajaib kupikir—sebab biasanya kabut berasal dari cuaca dingin alam semesta yang menguap. Ilmiahnya, definisi ini aku ambil dari kak wiki—wikipedia, kabut adalah uap air yang berada dekat permukaan tanah berkondensasi dan menjadi mirip awan. Hal ini biasanya terbentuk karena hawa dingin membuat uap air berkondensasi dan kadar kelembaban mendekati 100%. Ah, aku sedikit tak paham, jika harus berkata ilmiah. Si kabut tipis ajaib yang satu ini keluar dari mulut harimau kita;-P

Mimpi kecil itu tiba-tba saja menguap kembali. Seperti detik ini. Detik yang tiba-tiba saja memaksaku merindukan salju itu. Tak henti-hentinya otakku dipaksa menceritakan kembali, kapan, dimana, kenapa dan apa yang membuatku menyukai salju. Kapan—mungkin tepatnya saat aku berusia 5 tahun. Spesifiknya, sebuah film jepang lah yang membuat mimpi memeluk salju itu muncul. OSHIN, itu judul film yang aku tonton waktu kecil. Film yang menceritakan seorang gadis cilik Jepang, bernama oshin yang berjuang melawan hidup miskin, hingga akhirnya ia berhasil menjadi pengusaha wanita yang sukses di Jepang.

Seperti kita ketahui oshin adalah film jepang. Oleh karena itu dalam film tersebut tak hanya sebuah kisah atau cerita yang disajikan untuk para penikmat film. Sebuah budaya jepang juga mereka tawarkan. Tak hanya budaya, seluk-beluk dari hal-hal kecil tentang Jepang, semua tersaji dalam film ini. Makanan, pakaian, bentuk rumah, ciri-ciri orang jepang; warna kulit, dan mata sipit, sudah kukenal sejak usia lima tahun. Tak kalah menariknya buat mata ku , hingga tak melewatkan sedetikpun, SALJU yang turun mengiringi tiap adegan film ini. Entah kenapa, salju itu sungguh menarik perhatianku. Dari sinilah, aku menyukai salju. Dan hingga akhirnya, akupun menyukai negeri dimana Oshin berada. iYa! Aku menyukai Jepang.

Kisah kedua, yang membuat ku semakin menyukai salju ketika bapak dan satu tim divisi mesin ditugaskan ke negeri Nippon itu. Sebuah tugas dari kantor untuk beberapa bulan kedepan, yang kebetulan perusahaan kapal, tempat bapak bekerja, sedang berlayar ke Jepang. Sayang, aku tak paham secara jelas untuk tugas apa di jepang. Yang aku tahu dan yang masih dapat kuingat serta menjadikan sebuah bukti keberadaannya disana adalah, foto bapak sedang berjabat tangan dengan seorang calon kepala propinsi di Jepang yang sedang berkampanye di swalayan-swalayan lokal Jepang, foto-foto dengan jaket tebal dan payung-payung ciri khas jepang yang bersalju. Dan tentu saja cerita-cerita bapak tentang pengalamannya di Jepang dan beberapa souvenir cantik asli Jepang yang dibawa ke Indonesia. Ini cukup menjadi bukti buatku, bahwa bapak pernah tinggal beberapa waktu di negeri orang-orang bermata sipit itu. Inilah yang membuat saya semakin menyukai salju-salju jepang. Usia ku saat itu sudah 7 tahun. Sepertinya, usia 5-7 tahun mimpi ku masih berkelanjutan alias tak berjeda oleh apapun dalam proses menyukai salju.

Dan semua terhenti, atau lebih tepatnya mimpi memeluk salju tak sengaja terkubur oleh keinginan atau mimpi-mimpi yang lain. Seiring usia yang bertambah dan keinginan yang berubah-ubah dan atau aktivitas sekolah yang semakin banyak; mimpi-mimpi itu semakin tenggelam tertelan bumi. Bumi menelannya? Benarkah? Ah,Tapi kupikir, tak begitu dengan langit. Aku percaya Langit. Dan tentunya si penghuni abadi Arsy. Ia masih mengingat dan akan terus mengingat mimpi kecil si gadis polos. Aku—bagai punguk merindukan bulan. Iya. Jujur aku akui. Saat ini, aku benar-benar menrindukan salju. Putih, bersih, bagai hujan yang dinginnya menyengat tubuh mungilku.

Aku rindu.

Seperti sore ini, mimpi yang tertelan bumi itu, mimpi yang hampir terlupa, kini tiba-tiba hadir begitu saja. Serasa si empunya Langit memberi kabar menggemparkan hati. Dalam imajinasiku, seolah langit bersabda. Dan terjadilah percakapan ilusi;

Hai, kau! mimpi kecilmu kirim salam, kata langit.

Salam? Kataku bertanya.

Iya,salam. Salam Salju, dia menambahkan.

mimpi kecil? Siapa itu? Dan,Salam salju? Apa Maksudnya, tanyaku heran.
Kudengar langit tertawa, atas keherananku. Ketawanya yang gurih, menambah keherananku. tapi tiba-tiba, entah kenapa aku menyukai suara langit ini. Sangat menyukainya. Terasa menyejukkan kalbu.

Aku diutus tuk sampaikan salam salju untukmu dari yang menciptakanmu dan aku, kata suara langit menggema.

Aku mencoba bertanya (kali ini dengan kesejukan hati menyebar keseluruh tubuh) kepada langit, salam salju dariNya?aku masih tak paham. Bisa kau jelaskan lagi lebih detil lagi?.

Langit berkata, aku tak tahu apa maksudnya. Tugasku, hanya menyampaikan pesan dua kata itu untukmu. Salam salju, begitu kataNya. KataNya, kau akan tahu pada waktunya. Sekarang yang harus kau lakukan adalah, yakin dan tersenyumlah.

Mimpi kecil. Salam salju, siapa mereka tanyaku dalam hati.

Yakin dan tersenyumlah.
Apa lagi ini?! Makna nya masih benar-benar terkunci gembok baja.

Kutatap langit biru, kucari-cari, dimana gerangan suara itu berasal. Dan tiba-tiba saja sunyi, hening, tak sebersitpun suara yang muncul kepermukaan semesta.

Aku tertunduk.
Diam.

Namun, tak henti-hentinya otak kecil ini melayang-layang memikirkannya
Kali ini aku tak sedang bermimpi
Apa tuhan yang sedang ber ”mimpi”?
Ah, ini hanya sebuah Ilusi tingkat tinggi
Tapi kenapa, masih terselip yakin ditengah lingkaran keraguan
Ah…


Suatu saat nanti, untuk yang kedua kalinya
Mimpiku adalah mimpi tuhan yang terwujud
… … … …
Bukan sebuah kebetulan.















Cheers;-) enha.

Senyumku,kembalilah..




Senyumku terbang menghilang bak diterpa mendung hitam pekat
Tak berbekas

Senyumku melesat menghilang bak kilat kuda surga, bouroge
Tak berjejak

Senyumku mengurai tak membentuk sudut apapun,
Hilang makna

Senyumku beberapa waktu lalu, aku tak menemukan aslinya
Aku sendiri kehilangan akal mentafsirnya
Ku dibuat lupa oleh penafsiranku sendiri
Lupa akan puisi senyum yang telah dengan payah tangan ini susun
Haruskah berdiri terus seperti ini?
Berdiri tanpa senyum sedikitpun

Buat apa!

Kalau sesungguhnya keadaan sudah terbiasa buatmu sejak kecil
Melawan keterbatasan
Lelah ini hanya sementara
Tetap dengan senyum katakan pada dunia yang sombong ini,
Aku akan tetap mencari seulas senyum bersama Tuhan











cheers, enha.