Monday, February 14, 2011

Cerita Perempuan kecil dan Payung hitamnya





Apa kabarmu wahai perempuanku. Seribu wajah mudamu terlukis dalam ingatan. Tersketsa jelas. Sejelas senyum yang kau bagi buatku malam itu. Ini perjumpaan pertama ku denganmu di malam bulan syawal;setelah cukup lama tak menjumpai wajahmu yang familiar dalam selaput pelangi mataku.

Adakah pesan ingatanku tentangmu pagi ini. Tak elak lagi, aku merindukanmu.
dan, bagaimana kabar payung hitam mu? Payung hitam yang kau pakai untuk melindungi tubuh kecilku dari gelontoran hujan-hujan sore itu.

Apakah kau bertanya, kenapa aku masih ingat dengan payung itu?. Tentu. Aku harus mengingatnya. Momen bersamamu dan payung itu tak kan lekang di gilas usiaku.
Jujur, kenangan indah bersamamu di waktu kecil, membuatku sengaja berniat untuk menjaga dengan sungguh-sungguh kepingan mozaik kehidupan yang kubangun denganmu. Terlalu indah untuk menyingkirkanmu dalam ingatan dan hati kecil ini.

Kau tak tau bukan, apa yang ada dibenakku—anak bertubuh ringkih kelas tiga esde. Saat hujan benar-benar membuatku takut untuk pulang seusai sekolah sore tahun 1995. Lima belas tahun yang lalu. Keluar dari gerbang sekolah, segera aku merayap dan berteduh dipondok bambumu.

Ibumu tak menjemputmu? Tanyamu.

Mungkin karena langit sore itu berselimut mendung hitam pekat. Aku disuruh menunggu diwarung rujakmu, pikirku dengan wajah kekhawatiran.
Namun mendengar kau berucap, “pulang sama saya saja, dan tunggu sebentar. Saya beres-beres warung dulu”.
Dan detik itu pula, ketakutanku akan badai sore itu menghilang tiba-tiba. Aman, Itu yang kurasa setelah mendengar ucapanmu.

Dan kita pun menyusuri jalan pulang kerumahmu. Setelah sebuah plastik hitam mendarat di tanganku—pemberianmu, untuk membungkus tas dan sepatu kasogi milikku. Ternyata kau khawatir juga. Hujan membasahi buku dan sepatu satu-satunya yang kupunya.
Sama-sama tanpa alas kaki, kau dan aku tetap berjalan di atas tanah licin dan berlumpur, disertai hujan lebat sore itu. Seperti biasa, kau berjalan membelakangiku. Aku mengikuti derap langkah kaki cepatmu menapak jelas diatas jalan setapak berlumut mendekati gubukmu. Tanpa kata. Hanya suara hujan yang mewakili kebisingan diantara kita. Dan masih ingatkah kau dengan rel-rel kereta api yang kita sebrangi, menuju rumahmu. Rel-rel mati itu menjadi saksi hidup mozaikku bersamamu. Sungguh, itu cukup bagiku.

Setengah jam kemudian, nampaklah hunianmu. Kau masuk lewat pintu belakang, hanya untuk meletakkan barang-barang kotor bekas jualanmu hari itu. Tanpa berkedip, mataku mengikuti gerak tubuhmu mengitari ruang kecil beratap daun kelapa yang mulai menua. Ruang yang baru aku ketahui fungsinya, untuk tempatmu beristirahat bersama nenek tua, ibu dari ibu kandungmu.

Tanpa jeda sedikitpun, kau ambil payung hitam milikmu untuk mengantarku pulang. Aku tahu, jarak rumahku terlalu melelahkan untuk ditempuh dengan kaki-kaki ini. Tapi tak kau tunjukkan sedikitpun kelelahanmu. Aku salut. Dan terimakasih.

Payung hitam itu, masih sangat membekas dalam sketsa kecilku. Kau dan payung hitam itu, sungguh mulia. Cukup membuat kepalaku terlindungi derasnya hujan.
Kita berbagi sebuah payung. Kau selendangkan tangan kananmu diatas pundakku, isyarat agar tubuhku lebih dekat denganmu. Merapat, serapat-rapatnya. Dan lagi-lagi tanpa sepatah katapun meluncur dari bibir birumu yang menggigil. Kau dan aku menelusuri jalan setapak, sepanjang sungai kecil yang telah berubah lebih menyeramkan karena banjir besar menerjang. Sungai kecil itu meluas hingga sepuluh meter. Naik tiga kali lipat dari sungai kecil biasanya. Akan lebih menyeramkam, ketika waktu itu aku sendiri menyusuri jalan pulang.

Tapi sore itu malaikatku datang…..

Dan baru aku tahu, kaulah malaikat itu. Malaikat yang menjaga anak kecil dari mara bahaya. Meski aku juga tahu, tak ada malaikat berkelamin perempuan. Ah, itu tak penting. Adalah yang jelas dan paling penting—kau baik sekali padaku.

Dengan seluruh tubuh yang basah kuyub dan bibir yang membiru, aku pun sampai dirumah.
Kau dan aku berdiri mematung beberapa detik di depan pelataran rumahku yang tergenang air tigapuluh senti.

Mematung.

Dan tiba-tiba kau, hanya berucap pamit pulang setelah ucapan terima kasihku mendarat dari bibir kecilku yang kelu karena menggigil kedinginan.

Dan…

Kaupun mulai menjauh….










berjalan…



memunggungiku….

jauuuuuuuuh…

kembali pulang berteman hujan dan payung tua yang saling bicara dalam kebisuan.
Kau dan payung hitam itu bercerita.
dan aku,

mulai membacanya….…

Seperti saat ini.

Aku senang kau sehat dan baik-baik saja malam itu. Kau mulai nampak menua memang. Seraut wajahmu terlihat keriput. Tapi senyummu malam itu, tak menghilangkan wajah mudamu yang kukenal saat kecil dulu. Tubuhmu yang mungil, masih tetap saja. Sangat tampak sekali, aku mengejarmu.

Memelukmu malam itu memaksa otakku memutar kembali kenangan kita berdua, kau dan aku. Pelukanmu dan pelukanku saling meng-erat. Kemudian saling lepas pelukan, dan saling menatap. Mungkin dalam pikirmu, “kau sudah besar, wajah kecilmu sudah semakin terlihat memburam. Kini wajah-wajah mungilmu menemukan bentuk kedewasaannya”. Senyumku mengembang. Kau tau apa yang ada dalam pikirku saat menatap matamu malam itu, “Kau perempuan baik, aku tak kan menghianati ingatan kecilku—tuk melupakanmu”. Semoga, sang waktu tetap menyiapkan menit-menitnya untuk pertemuan kita kembali.








Persembahan untuk;
Perempuan yang aku cintai, selain ibu.
Tabik, enha.

gambar dari http://browse.deviantart.com

No comments:

Post a Comment