Monday, April 25, 2011

NEKAD





(Sebuah Perjalanan:niken,nanox dan nurong)

NEKAD. Perjalanan ini saya namai. Kenapa saya bilang nekad. Karena alasan-alasan terwujudnya perjalanan ini pun tak kalah nekad.

Begini awal ceritanya; ada sebuah kabar bahagia dari salah seorang sahabat dan sekaligus kakak perempuan bagi “adik-adiknya”, termasuk saya didalamnya. Kabar bahagia itu adalah dia akan menikah. Bagai burung perkutut, kami—adik-adiknya, berkicau sana-sini. Berisik. Dan sangat berisik. Kami tak percaya!mungkin itu makna kicauan kami. Maklumlah,, bagi kami, dia sangat cepat dan berani memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya. Khususnya bagi kami yang tahu, meski sedikit, tentang kakak kami tercinta ini. Dan bagi kami ini keputusan yang sangat cepat, meski saya akui itu hanya sepenglihatan mata kabur kami. Tapi mungkin bagi dia, yang tak tertangkap oleh kami, adalah sebuah penantian yang cukup lama dan penuh cerita. Seperti kata Tolstoy, Tuhan maha tahu, tapi DIA menunggu. Menurut saya, kali ini tuhan tak menunggu lagi, DIA menjawab.

Ketidak percayaan kami, saya khususnya, sirna ketika dia menjelaskan sendiri perihal pernikahannya yang akan segera dilaksanakan. Sambil tersipu, dia mengundang saya.
Ah,ketum…. (begitu saya memanggilnya)
Saya terharu, bahagia.
***

Setelah mendapat kabar itu, saya langsung memberitahu sabahat saya yang lain, , mengenai kabar ini. Seperti saya, iapun sock. Meski pada akhirnya, iapun mempercayai ketidakpercayaannya. Seperti kalimat yang ia tulis, “ masa ketum sudah tiba mbak….,”. dan ketidakpercayaannyapun luluh ketika ketum pun mengabarinya.

Dan kami pun, mulai menyusun agenda keberangkatan kami. Lamogan adalah tempat siketum akan melangsungkan pernikahannya. Saya dengan dua teman, yang juga sahabat dekat ketum, niken dan mb.obib—antusias dengan rencana perjalanan ini. Ketum sangat special buat kami, itu juga yang menjadi sebuah alasan kenekatan kami pergi ke Lamongan. Daerah yang belum pernah saya dan niken hampiri. Lamongan masih sebuah imajinasi dalam kepala kami. Tapi untunglah, mb.obib pernah sekali ke rumah ketum, lamongan. Jadi saya bersyukur, ada yang jadi penunjuk jalan diantara kami.
Rencana awal, kami akan berangkat hari jum’at, 25 maret 2011, hari H pernikahan ketum. Saya dan yang lainnya akan berangkat dari jember jam 05.00 pagi dengan kereta logawa. Dan menurut perkiraan, kami akan sampai dirumah ketum jam 13.00 wib. Meski tidak melihat ketum ber-akad, Paling tidak—kami tiba pada hari H, dimana ketum menikah.

Seminggu sebelum pernikahan ketum, rencana berubah. Kami tidak jadi berangkat pada hari jumat. Karena, si nanox masih ada jadwal kerja. Dan kami putuskan, hari sabtu, sehari setelah akad nikah. Niken, mb.obib dan saya sangat antusias ke Lamongan.
Man proposes, God disposes. Manusia berencana, Tuhanlah yang berkendak. Rencana berubah lagi. Kali ini bukan jadwal keberangkatan. Dua hari menjelang keberangkatan kami, sebuah pesan diterima niken “….ada sesuatu yang tak menyamankan perjalanan kita…”, bunyi sms mb.obib. Saya dan niken harus menerima kenyataan ini. Kenyataan dimana, kami berdua pergi kelamongan tanpa mb.obib, sipenunjuk jalan. Mb.obib harus pulang ke banyuwangi. Ada urusan sangat penting. Kami berduapun, pada akhirnya, menerima alasan itu meski dengan wajah murung. Alasan itu penting bagi mb.obib, tapi semangat kenekatan 100 persen yang kami bangun untuk pergi kepernikahan ketum, jauh-jauh hari, sedikit kehilangan nyawa. Tapi saya nggak mau menghentikan semangat ini. Pikir saya, sudah cukup bersusah payah meyakinkan diri untuk tetap pergi kelamongan. apapun yang terjadi, tetap pergi ke lamongan…hahaa, keukeeh nekad!!!!
***

Dan jadilah hanya saya dan niken yang berangkat dari jember, dan seorang teman yang menunggu di st.Sidoarjo. Hanya kami bertiga. Cewek-cewek. Tanpa pejantan dan penujuk jalan. Berbekal sebuah peta buta amatir, yang saya buat berdasarkan penjelasan mb.obib.

Dan jadilah, jam 04.45 subuh, saya dan niken menuju st.jember. Berdua bersepeda motor. Tak pikir panjang, sepeda motor dititipkan, dan kami langsung antri tiket. Dan kereta berangkatlah sudah. Saya dan niken, mengawali perjalanan nekad ini dengan senyum mengembang dan berselimut awan tebal, berkabut. Dingin. Lamongan kami akan menjumpaimu!;D

Tepat pukul 08.45 saya dan niken berhenti di st.Sidorajo, menemui seorang sahabat lain yang ikut rombongan kami (rombongan?!!!hahahaa…).

Meski tidak ada hubungannya dengan acara pernikahan ketum. Saya ingin menceritakan sahabat lain saya, yang satu ini. Nanox, saya memanggilnya. Kami—saya dan dia sudah cukup lama tak bertemu. Wajar, jika saya terharu ketika melihatnya kembali untuk pertamakalinya di st.Sidoarjo. Saya tak bisa menahan mata berkaca-kaca. Dan terjatuhlah, serta senyum yang mengembang tak hentinya. Saya dan dia cukup lama jeda berkomunikasi. Hanya sesekali saja. Tak intents seperti dulu. Ini mungkin yang membuat saya terharu, jeda panjang dari yang namanya ketemu dan ngbrol ngalor-ngidul bareng. Seperti katanya dalam sms, yang berbunga-bunga bertemu saya. saya pun demikian. Dan kamipun lebay……hahaahahaaa…

***

Rute selanjutnya adalah ke terminal bungur (surabaya) dengan kereta komuter dari st.sidoarjo. 15-20 menit kemudian kami sampai depan terminal Bungurasih. Tak lama menunggu, kami sudah berada di dalam bis arah semarang-lamongan. Menurut peta yang saya bawa, kami harus turun di lamongan Plaza. Kemudian naik transportasi yang bernama BELA.

Ini dia yang saya tunggu-tunggu. Si BELA yang dalam bayangan saya, adalah sebuah bis antar kota atau angkutan mewah dari lamongan. Ternyata kami bertiga tidak ada yang tahu satupun bagaimana bentuk BELA, dan apa singkatan Bela itu sendiri. Sampai di depan pintu keluar Plaza lamongan, kami kebingungan mencari si Bela. Panas yang menyengat tanpa ampun, tak menyurutkan kaki-kaki kami mencari bela. Dan akhirnya, kami menemukan Bela yang mojok didepan pintu Plaza. Bela…oh…bela… ternyata kau sebuah becak bermotor. Bela—becak Lamongan. Bela…oh…Bela…. Imajinasi saya tentangmu pun sudah terbayar nyata. Bela…oh..Bela….bentukmu tak secantik namamu. Bela…oh…bela…merananya dikau…..;P

Tawar-menawar harga pun terjadi. Kata ketum, patok harga 25-30 ribu rupiah. Kami menawar 30ribu desa banyu urip untuk tiga orang.
Si driver menyapu wajah kami bertiga, dan kemudian berkata, 45ribu!
Si nanox menawar. 30 pak?! Ya?!
45?!! Kata si driver.
30, pak!
Gak boleh mbak, 45!!! Jalannya susah mbk!
35 wes pak, kata nanox.
Sambil terpaku memandang kami, Ia pun sepakat. Tawar-menawar berakhir. Dan kami bertiga segera menaiki si Bela.
Sepanjang jalan, tak hentinya senyum mengembang. Cengengesan melihat tingkah-pola kami bertiga sendiri, yang duduk bertiga di atas becak lamongan. Bersempit-sempit ria. Untunglah badan kami kurus dan kecil. Minimal sibela tak merana kami duduki…hahaa….

Bela, Alat transportasi unik yang tak terbayangkan sebelumnya oleh pikiran kami. Menyusuri jalan sedikit berbatu, sedikit becek, sedikit tak beradab. Dan sedikit keberatan memuat kami, sibela dengan tanpa mengeluh tetap membunyikan mesinnya. Tak rewel ditengah jalan berbatu dan sedikit menanjak.

Eh…tapi lebih tak beradab menyusuri jalan rumah nyun…heheee.. (waah jadi inget si nyun ; andai nyun ikut! Dan anak-anak ideas yang lain juga ikut, pasti mereka malu naik Bela…hihihiiii). Mengko dadi kemayu la’an. Jalan menuju desa banyu urip, rumah ketum, masih cukup lumayan beraspal halus. Dan tak serepot jalan menuju rumah nyun, haha…nyun maneh;P hihihi…

Satu lagi, Disepanjang perjalanan menuju rumah ketum, yang tak kan ditemui di daerah manapun, tambak-tambak ikan terhampar luas di kanan-kiri jalan. Seluas mata memandang, disitulah tambak berjejer rapi nan hijau. Hampir setiap rumah, memiliki area pertambakan. Sepertinya, lamongan salah satu kota pengahasil tambak terbesar di negeri ini. Jalan tak beradab jadi tak terasa karena pemandangan langka ini. Sebanyak apapun polusi disana, tak kan dapat mengotori udara yang kita hirup, pikir saya. Masih benar-benar asri, meski panas menyengat.

No comments:

Post a Comment